Arsip Kategori: Uncategorized

Pemilu 2024 dan Sikap Politik Partai Pembebasan Rakyat

Pemilu 2024 dan Sikap Politik Partai Pembebasan Rakyat

            Pemilu 2024 sudah dekat. Sikap politik ini tentu tak akan banyak berpengaruh terhadap eskalasi politik yang ada. Tak akan berpengaruh terhadap siapa yang akan jadi pemenangnya, sebab memang siapapun yang menang satu hal yang pasti, rakya masih akan ditindas kepentingan kapitalisme. Meski begitu rakyat akan tetap berlawan di mana pun berada. Namun, sikap adalah sikap, yang harus ditunjukan untuk membedakan siapa yang menjadi kawan seiring sejalan dan lawan dalam pertarungan jangka panjang ini. Sikap politik ini merupakan hasil kongres Partai Pembebasan Rakyat (PPR) dan penambahannya merupakan hasil diskusi bersama calon-calon kader.

Apa sikap kita terhadap pemilu kaum borjuis?

Pemilu borjuis pada hakikatnya adalah ajang politik kaum borjuis dan bagian dari suprastruktur borjuis untuk melanggengkan dominasi dan hegemoninya terhadap kelas pekerja dan rakyat tertindas lainnya. Dominasi dan hegemoni kelas penguasa melalui pemilu bukan hal baru, sudah ada sejak lahirnya trias politika (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) yang dalam sejarahnya lahir dari demokrasi tuan-tuan budak yang sudah hidup kurang lebih dua ribuan tahun. Disebut sebagai demokrasi tuan budak, sebab budak-budak menitipkan aspirasi politiknya kepada tuan-tuan budak yang terwakili di dalam senat-senat tersebut. Seperti halnya hari ini, kaum tertindas menitipkan nasib dan aspirasinya kepada tuan-tuan modal yang berkuasa atas partai-partai yang ada.

 Demokrasi tuan budak ataupun demokrasi tuan modal pada hari ini, pada hakikatnya bukan demokrasi langsung, tapi demokrasi tidak langsung. Partisipasi politik hanya ada pada saat pemilu. Tak ada partisipasi yang substansial sebelum dan setelah mereka terpilih.

Demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi langsung, yang kita sebut sebagai demokrasi kerakyatan, di mana peran eksekutif, legislatif, yudikatif termaktub dalam Dewan Rakyat. Melalui Dewan Rakyat tersebut partisipasi politik dari bawah bisa berjalan secara berkelanjutan, tak hanya ada di bilik-bilik suara. Rakyat memiliki hak untuk pergantian langsung apabila perwakilan-perwakilan mereka tidak menjalankan program dan kebijakan yang diaspirasikan dari bawah. Tanpa perlu menunggu lima tahun berikutnya.

Meski pemilu borjuis adalah arena kompetisi kaum borjuis, namun secara prinsipil kami tidak anti, tidak menolak atau bahkan memilih lari dari arena tersebut apabila terdapat kesempatan untuk bertarung. Persoalan ikut pemilu dan boikot pemilu ditentukan dari kondisi demokrasi borjuis itu sendiri dan kesanggupan internal gerakan kiri.

 Kondisi hari ini sejak paska pemilu 1999 mempersulit kaum kiri pada umumnya untuk ikut terlibat dalam pertarungan pemilu borjuis. Pengetatan sistem kepartaian dan sistem pemilu sejak paskapemilu 1999 membuat beberapa proyek-proyek partai front elektoral yang diinisiasi oleh beberapa kelompok kiri dan kiri tengah gagal bahkan sejak verifikasi faktual pertama (sah secara hokum sebagai partai politik). Proyek-proyek tersebut misalnya dilakukan oleh PRD pada 2004 melalui Partai Persatuan Oposisi Rakyat (POPOR) untuk intervensi pemilu 2004 dan Partai Persatuan Pembebasan Rakyat (PAPERNAS) pada intervensi pemilu 2009, atau Partai Perserikatan Rakyat (PPR) dan Partai Persatuan Rakyat (PPR) pada intervensi pemilu 2009 dan 2004. Selain itu, beratnya persyaratan administrasi untuk lolos verifikasi faktual pertama dan kedua, isu anti komunis selalu dijadikan “peluru” untuk membatasi partisipasi politik kaum progresif. Jadi, faksi borjuis dari sisa orde baru, para jenderal pelanggar HAM dan kaum borjuis reformis palsu menskenariokan agar partisipasi politik massa terkanalisasi dalam spektrum tengah-kanan dan kanan. Kiri harus dibuat abstain dalam momen politik apapun agar tak bertumbuh dan mengoyak-oyak persoalan masa lampau, lalu menggangu stabilitas kapitalisme neoliberal. Hakikatnya demokrasi liberal pada hari ini adalah demokrasi liberal tanpa kiri. Suatu ironi bagaimana bisa ada kebebasan demokrasi tapi tanpa kemerdekaan berpikir termasuk kemerdekaan untuk menjadi kiri dan mendirikan partai kiri. Ironi ini adalah bukti nyata atas belum tuntasnya reformasi 1998 dan masih berlanjutnya dampak genosida politik 1965-1966.  

Hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan kaum kiri-revolusioner pada khususnya dan kaum kiri pada umumnya tidak bisa terlibat bertarung selain menjadi sekoci-sekoci pendukung calon atau partai tertentu. Selama kita tidak membongkar penyempitan demokrasi yang dilakukan secara sistematis paska pemilu 1999, dan mendobrak kebuntuan politik akibat terus bercokolnya kekuatan lama sisa orba dan kaum borjuis reformis palsu, niscaya partisipasi rakyat hanya akan dikanalkan pada partai-partai borjuis dan tokoh-tokoh borjuis populis. Dan penyempitan ruang demokrasi misalnya, melalui electoral threshold (ET), presidential threshold (PT) dan syarat pendirian partai akan terus diperberat oleh pemerintahan kaum borjuis.

Jadi, singkatnya kita tidak dapat berkontestasi dalam pemilu borjuis, bukan karena anti terhadap pemilu, namun karena tidak cukup besar ruang demokrasi yang tersedia bagi kaum kiri untuk menghadirkan dirinya dalam pertarungan politik tersebut. Akibat dari upaya penggagalan yang sistematis terhadap partisipasi kiri tersebut, sebagian besar elemen-elemen kiri dalam spektrum 1998 berada dalam kefrustasian yang akut sehingga melikuidasi partai kiri-revolusioner, seperti yang dilakukan oleh PRD, memilih masuk ke partai borjuis dengan pembenaran, “change with in”, merubah dari dalam, memilih calon presiden-wakil presiden atau kepala daerah yang lesser of evil, terbaik dari yang terburuk, atau bahkan berkolaborasi dengan aristokrasi buruh kanan melalui Partai Buruh.

Namun, tugas utama kaum kiri-revolusioner dalam mengintervensi pemilu borjuis bukanlah berlomba-lomba memperbanyak spanduk dan poster tokoh/caleg atau menggunakan politik uang agar dapat kursi legislatif, melainkan menjadikan arena borjuis sebagai panggung politik propaganda jalan keluar pembebasan rakyat dan mendelegitasi sistem kapitalisme berserta alat dan sistem politik borjuisnya. Arena borjuis bagi kita adalah ajang pendidikan politik bagi rakyat untuk memahami apa dan bagaimana politik revolusioner tersebut.

Sebab, tugas utama dari segala bentuk perjuangan baik parlementer, ekstra parlementer dan lainnya adalah pendidikan politik revolusioner. Maka, slogan politik akan menentukan pemahaman dan tugas politik rakyat.  Seruan “tolak pemilu” dan “golput” justru dipahami sebagian besar oleh rakyat menjadi anti terhadap pemilu, anti partai dan partai elektoral serta tak jarang berakhir apatis. Padahal rakyat harus dipersiapkan untuk siap berjuang dalam arena ekstra parlementer maupun arena parlementer. Rakyat juga bisa menyadari bahwa alat politik perjuangan adalah Partai, tidak cukup sekedar berserikat, organisasi sektoral, komunitas, ataupun NGO. Tidak cukup sekedar gerakan sosial, gerakanisme, yang kita butuhkan adalah gerakan politik radikal. Lebih jauh lagi adalah partai yang dapat memimpin perjuangan parlementer, eksra parlementer dan revolusi.

 Golput meskipun mengalami peningkatan sejak pemilu 2004 namun tidak memiliki dampak yang krusial. Pemilu tidak bisa dinyatakan gagal meski tingkat golputnya lebih dari 30%. Dalam sejarahnya diberbagai negeri, boikot pemilu yang sesuai per definisinya dalam praktek, dalam artian bukan hanya slogan dan jargon semata, memberikan dampak yang krusial. Namun, pertanyaannya apakah kaum kiri pada umumnya sanggup menjalankan Boikot Pemilu sesuai per definisinya dalam praktek pada hari ini? Belum. Gerakan kiri Indonesia pada umumnya tengah berada dalam titik terendahnya dalam 25 tahun terakhir. Sebagian besar sudah menanggalkan prinsip kepeloporan dan tidak sedikit yang mensubordinasikan diri pada kaum kanan dan tengah-kanan. Kita sedang membangun kembali dari puing-puing kefrustasian generasi lama yang jatuh kepada politik posibilistik. Penyakit ketidakpercayaan diri ini menghinggapi pada umumnya kaum kiri dan serikat/organisasi rakyat yang dilabeli “merah”, akibatnya tak ada persatuan kiri, apalagi persatuan kaum revolusioner. Yang ada hanya persatuan luas, seluas-luasnya hingga tak memiliki batas/demarkasi lagi. Akar dari wajah yang sama dengan apa yang dilakukan PRD dengan mendukung Prabowo-Gibran: keinginan untuk segera besar dan cepat mendapatkan kekuasaan.  Akar yang sama pula dengan apa yang dilakukan oleh sebagian unsur-unsur kiri yang saat ini ada di dalam Partai Buruh.

Bagaimana kami memandang Partai Buruh?

Pertama-tama, secara umum, tidak berarti bahwa partai buruh adalah partai proletariat. Kedua hal ini berbeda secara substansial dan watak. Partai Buruh adalah wadah atau alat di mana kaum buruh memperjuangkan tuntutan politik sektoralnya, yang tidak serta merta adalah tuntutan politik kelas. Sedangkan partai proletariat adalah partai yang tidak hanya terdiri dari kaum buruh namun secara program dan kesadaran mencerminkan politik pembebasan klas proletariat atas penindasan kelas borjuis.  

Karena itu, kita dapat menemukan di berbagai negara, tidak sedikit partai-partai buruh yang hanya berjuang untuk tuntutan-tuntutan ekonomis kaum buruh semata, atau bahkan dalam derajat tertentu menjadi pro kapitalisme neoliberal dan anti terhadap kaum buruh imigran, pro perang imperialis seperti pada masa kepemimpinan Tony Blair dari Partai Buruh Inggris. Singkatnya, partai buruh meskipun secara komposisi berasal dari klas buruh, tak jarang kepemimpinannya dikuasai oleh aristokrasi buruh yang sangat pro kapitalis, apakah itu kapitalisme neoliberal atau kapitalisme ala Keynesian.

Sekarang kita bicara tentang Partai Buruh yang hari ini dipimpin oleh Said Ikbal. Partai Buruh pimpinan Said Ikbal ini bukanlah partai buruh yang baru. Partai Buruh adalah partai lama yang sudah ada sejak pemilu 1999 dibawah kepemimpinan Mochtar Pakpahan. Almarhum Mochtar Pakpahan sendiri adalah tokoh reformasi dan mantan tahanan politik orde baru. Dia tidak percaya pada penggulingan kapitalisme. Dia dan partai buruh yang ia pimpin meyakini jalan mendamaikan pertentangan kelas buruh dan kapitalis, belasan tahun lalu dia menyebutnya sebagai jalan sosial demokrasi ala Jepang. Sebelum meninggal, ia berpesan agar pimpinan-pimpinan serikat buruh seperti Said Ikbal dan Andi Gani mengambil alih partai buruh. Suatu rencana tertunda yang digagas bersama antara FSPMI/KSPI, KSPSI, SPI dan beberapa serikat lainnya yang tergabung dalam Rumah Rakyat Indonesia (RRI) menjelang pemilu 2019. Rencana mengakuisi Partai Buruh ini baru dilakukan pada Mei 2021 setelah Mochtar Pakpahan meninggal.

Said Ikbal dan lingkaran kepemimpinannya bukan orang baru di gerakan buruh. Dia adalah elit lama FSPMI/KSPI. Kebangkitan gerakan buruh yang kala itu dikenal melalui gerakan gerudug pabrik pada kurun 2011-2012 melambungkan namanya. Tapi dibawah kepemimpinannya pula FSPMI/KSPI mendukung Prabowo Subianto pada pemilu 2014 dan 2019. Gelombang perlawanan dan partisipasi kaum buruh dalam serikat pekerja kemudian dikanalisasi dalam politik diaspora ke partai-partai borjuis pada pemilu 2014 dan 2019, dengan apologi “buruh go politik”, serta mendukung calon presiden paling bermasalah, Prabowo Subianto.  Dalam kampanye-kampanye mereka saat itu jelas bertendensi kanan: anti buruh migran, pro militer, pro orbaisme, anti komunisme, anti Cina dan pembullyan terhadap perjuangan HAM.

Aristokrasi buruh kanan itu lah yang saat ini memimpin Partai Buruh. Memang ada elemen-elemen kiri dan serikat buruh merah yang tergabung dalam partai buruh. Namun, elemen ini kecil, dan sudah sejak pembubaran Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) pada pertengahan 2014, dengan hasrat ingin cepat luas, ingin cepat besar, mereka menanggalkan kepeloporan politik kiri dalam ajang luas. Dengan gagasan yang penting luas, yang penting besar, akhirnya tak terlihat perbedaan politik mana yang air dan mana yang minyak.  Sejak lama mereka, sejak sebelum “hidup bersama” dalam Partai Buruh, tidak melakukan kritik keras terhadap manuver-manuver politik Said Ikbal cs yang berorientasi ke kanan itu.

Dominasi serikat buruh kanan di Partai Buruh lebih kuat hari ini dibandingkan dengan awal kepemimpinan Mochtar Pakpahan di Partai Buruh. Pada awal-awal reformasi, partai buruh di masa kepemimpinan Mochtar adalah sekutu dalam memperjuangkan tuntutan minimum reformasi, melawan orba dan melawan jenderal penjahat HAM. Sebaliknya, Said Ikbal, FSPMI/KSPI adalah pendukung keras Prabowo dan sisa orba.

Kami menilai bahwa berharap kepada Partai Buruh sebagai partai alternatif adalah mengilusi diri sendiri, yang akan mengakibatkan kita berakhir pada bentuk kefrustasian yang lain, terjerembab dalam lubang keputusasaan. Hingga akhirnya kita malas untuk mendefinisikan kembali seara programatik dan praktek apa makna alternatif dan seperti apa partai alternatif yang dibutuhkan rakyat pada hari ini guna membuat perubahan mendasar dan besar. Tak percaya diri bahwa kaum demokratik dan progresif mampu membangun alat perjuangannya sendiri tanpa perlu bersandar pada oligarkhi, atau juga artistokrasi buruh kanan.

Pertarungan elit vs elit, bukan rakyat vs elit

Sejak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan melalui pemilu pada tahun 2004, bukan lagi melalui kompromi dan negosiasi partai-partai di parlemen, banyak aktivis-aktivis 1998 yang masuk ke gerbong-gerbong calon-calon tersebut menjadi tim pemenangan. Berharap mendapatkan “reman-remah” kekuasaan apabila junjungan mereka menang.

Fenomena tersebut semakin menjamur pada pemilu 2024 ini. Mantan-mantan aktivis 1998 dan tidak sedikit juga mantan aktivis paska 1998 bergabung di tim pemenangan baik di kubu Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud, dan Anies-Muhaimin. Bahkan, tak peduli benar atau tidak, Prabowo Subianto, mantan Jenderal berlumuran darah dan kroni Orba itu didukung oleh korban-korban penculikannya ataupun mantan aktifis seperti Budiman Sudjatmiko, Haris Rusli Moti, Agus Jabo (PRD/PRIMA) yang dahulu kala paling getol melawan Orba dan militerisme. Bagi mereka pembenarannya adalah persatuan nasional. Persatuan untuk melawan siapa? Melawan imperialisme? Tidak juga, sebab ketiga calon yang ada tak mungkin bisa bertarung tanpa dukungan elit nasional dan kolaboratif dengan korporasi internasional. Hakikatnya dukungan mereka terhadap musuh-musuh pentingnya di jaman Orba dulu, bukanlah untuk menggilas imperialisme atau kapitalisme atau menuntaskan agenda reformasi total, melainkan: uang dan jabatan.

Memang persatuan di antara elit borjuasi begitu fragile dan longgar, dan tak begitu jelas perbedaan garis di antara mereka. Tapi kita mesti jeli melihatnya, sebab satu materi dan materi lainnya meskipun terdapat kesamaan bentuk, warna dan watak, namun selalu ada perbedaan. Selalu ada yang lebih buruk daripada yang lain. Menemukan perbedaan ini tidak lantas kita akan menggunakan konsep luminare minus malum atau lesser evil. Melainkan memberikan tekanan serangan kepada musuh yang lebih berbahaya tanpa harus bersatu dengan musuh yang lain. Banyak kaum demokrat dan mantan aktifis 1998 yang seharusnya belajar dari kegagalan konsep ini setelah Jokowi terpilih pada 2014 tak lama kemudian dia memunggungi rakyat dan memberikan kompromi yang begitu besar kepada oligarkhi, militerisme dan sisa orba. Tetapi, banyak dari mereka tetap saja tak mau belajar dari kegagalan konsep luminare minus malum.

Bagi ketiga calon presiden dan wakil presiden ini, rakyat hanyalah “lumbung suara” dan “tangga menuju kekuasaan”. Bagi mereka dukungan militer, sisa orba, borjuis nasional dan internasional yang akan menentukan menang atau tidak dan bertahan atau tidak kekuasaannya. Mari kita lihat siapa jenderal dan borjuasi nasional yang masuk ke lingkaran inti mereka:

Anies Baswedan-Muhaimin:

Militer: Marsekal Muda (Purn) Iman Sudrajat, Laksamana Muda (Purn) Hendri Suprianto, Letjend (Purn) Ediwan Prabowo, Letjend (Purn) Fachrul Razi, Letjend (Purn) Sutyoso, Mayjend (Purn) Jul Effendi, Mayjend (Purn) Syaiful Rizal, Mayjend (Purn) Sunarko, Mayjend (Purn) Gadang, Marsekal Muda (Purn) Iman Sudrajat dan Irjen Pol (Purn) Anas Yusuf.

Borjuis Nasional: Surya Paloh, Jusuf Kalla, Rahmat Gobel, Muhammad Ali, Fahrul Razi, Leontinus Alpha Edison, Jan Darmadi, Susno Duadji.

Prabowo-Gibran:

Militer: Mayjend (Purn) Arri Sujono, Brigjend (Purn) Surya Darma, Jend (Purn) Wiranto, Marsekal (Purn) Imam Sufaat, Jend (Purn) Subagyo HS

Borjuis Nasional: Hashim Djojohadikusumo, Abu Rizal Bakrie, Titiek Suharto, Erick Thohir, Hatta Rajasa, Airlangar Hartarto, Luhut Binsar Panjaitan, Wishnu Wardhana dan tentu saja Joko Widodo.

Ganjar-Mahfund:

Militer: Jend (Purn) Andika Perkasa, Komjend (Purn) Gatot Eddy Pramono, Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh, Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji, dan Letjend (Purn) Ganip Warsito.

Borjuis Nasional: Sandiaga Uno, Mohammad Arsjad Rasjid, Oesman Sapta Odang, Harry Tanoe, Orias Petrus Moedak, Heru Dewanto, Puan Maharani Andi Ridwan Wittiri.

Dan tentu saja masing-masing borjuasi nasional dan purnawiran jenderal tersebut bersandar kepada faksi-faksi borjuis internasional Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan Eropa. Tak ada borjuis nasional yang dapat berdiri sendiri tanpa menjadi bagian jejaring modal internasional. Itulah mengapa jargon nasionalisme yang dikumandangkan ketiga calon pada tiap debatnya hanya bualan semata untuk mendapatkan suara bukan untuk melawan imperialis.

Bagi borjuasi internasional selama kepentingan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta tingkat akumulasi modal bisa berlangsung dalam grafik yang menanjak akan mereka dukung. Siapapun yang bisa menghadirkan stabilitas politik akan menguntungkan stabilitas ekonomi kapitalis internasional akan mereka pertahankan. Stabilitas politik di mata rakyat dan di mata elit sangat berbeda. Di mata kita stabilitas politik merupakan ancaman bagi kebebasan berpendapat, kebebasan bereskpresi, kebebasan berorganisasi dan kebebasan untuk berlawan. Sementara di mata kaum borjuis stabilitas politik adalah kebebasan untuk menghisap. Karena itu, ketiga calon pada dasarnya setali tiga uang. Sama tapi juga berbeda. Berbeda tetapi memiliki kesamaan.

Dan yang pasti, pemilu presiden 2024 kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004, 2009, 2014, 2019: pertarungan ini bukanlah pertarungan rakyat melawan elit, melainkan pertarungan elit vs elit. Pertarungan di antara kaum borjuis untuk memastikan siapa yang paling dipercayai oleh Imperialis untuk menjalankan program-program neoliberal.  Jika anda menghendaki perubahan, bersiaplah untuk menghadirkan pertarungan rakyat melawan elit bukan menjadi sekoci-sekoci penopang pertarungan elit vs elit.

Sikap terhadap Pemilu 2024

Berangkat dari realitas yang berkembang saat ini dan dialektikanya dengan kemampuan subyektif, kami menyatakan bahwa:

Pertama, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 ini baik partai lama atau partai baru merupakan representasi dari kepentingan politik rakyat.

Kedua, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 ini baik partai lama maupun partai baru yang akan menuntaskan perjuangan demokrasi: mengadili jenderal pelanggar HAM, mengembalikan militer ke barak, membubarkan struktur komando territorial, menuntaskan reformasi TNI-Polri dan membuka keran demokrasi dan partisipasi seluas-luasnya.

Ketiga, tak ada satu pun partai dalam pemilu 2024 yang anti terhadap imperialisme. Ada beberapa partai yang mendaku sebagai partai nasionalis namun perannya sudah jelas sangat pro terhadap kepentingan korporasi internasional.

Keempat, meski kami mengerti bahwa Prabowo-Gibran lebih buruk bagi demokrasi dan HAM dibandingkan Anis-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, kami tak sudi terbawa arus jargon “asal bukan Prabowo”. Sebab kami sadar bahwa pada akhirnya siapapun yang akan terpilih akan mengakomodasi kepentingan sisa orba, militerisme, dan kapitalisme neoliberal. Bisnis akan menjadi yang utama. Rakyat kembali menjadi korban tipu daya. Sementara mereka akan kembali bercengkrama dan bermesraan selepas pemilu. Kami tak akan dan tak mau tertipu oleh “serigala berbulu domba”.

Kelima, sangat tidak cukup berbicara golput atau abstain. Mari bersama-sama membangun persatuan politik alternatif (baik itu partai alternatif atau blok politik alternatif). Sebab yang dibutuhkan oleh rakyat adalah kepemimpinan politik dari kaum kiri dan demokratik untuk menunjukan jalan perjuangan. Kami tidak sedang “mengharapkan hujan dari langit, air dalam tempayang dibuang”. Yang tengah kami sampaikan adalah tugas sejarah bersama. Tugas untuk bukan hanya mempertahankan capaian yang ada dari perjuangan demokrasi 1998 namun mendobrak kebuntuan dan penyempitan politik yang dilakukan secara sistematis oleh kolaborasi sisa-sisa orba, reformis palsu, militerisme dan kepentingan modal internasional.

            Sebagai penutup, kami hendak menyerukan kepada rakyat dan kaum pergerakan, cukup sudah dengan tipu daya politik kooptasi kaum borjuis! Jika anda menghendaki perubahan, jika anda menghendaki demokrasi dan kesejahteraan mari bahu membahu mendobrak kebuntuan yang ada dan mari membangun politik dan partai alternatif. Selamat berjuang dan terima kasih!

Medan Juang, 5 Februari 2024

Partai Pembebasan Rakyat

Terjemahan Manifesto Komunis dan Relevansinya Saat Ini

Oleh Doug Lorimer

1

Manifesto komunis adalah dokumen yang paling terkenal dari seluruh dokumen yang pernah dibuat oleh gerakan sosialis. Dokumen tersebut dipublikasikan bulan Februari, 1848, saat terjadinya pergolakan perjuangan revolusioner di Prancis dan Jerman—gerakan massa revolusioner yang telah diramalkan oleh manifesto tersebut. Pengarang dokumen tersebut, Karl Marx dan Frederick Engels, memulai kehidupan politik mereka sebagai demokrat yang radikal, berjuang untuk hak-hak konstitusional di Jerman, khususnya bagi kebebasan pers, perwakilan rakyat serta pencabutan hak-hak istimewa kaum feodal. Pada pertengahan 1840-an, dua orang intelektual Jerman itu telah menjadi sosialis atau komunis yang militan, sebagaimana mereka menyebut dirinya sendiri—yang berjuang demi mewujudkan masyarakat tanpa kelas (berdasarkan pada kepemilikan bersama terhadap kesejahteraan produktif) yang dicapai dengan penggulingan revolusioner kekuasaan ekonomi-politik kapitalis. Manifesto Komunis adalah gambaran ringkas pandangan Karl Marx dan Frederick Engels.

2

Kedua pengarang Manifesto tersebut bukan lah yang pertama yang mengembangkan visi tentang masyarakat tanpa kelas. Sebagaimana mereka sendiri kemudian mencatat, pada abad ke-16 dan ke-17, ada orang-orang yang lebih dahulu mengembangkan visi tersebut dengan menawarkan gambaran utopia kondisi sosial ideal; pada abad ke-18, sudah terdapat teori komunistik aktual “…(yang menjelaskan bahwa) bukan hanya sekedar hak-hak istimewa kelas yang harus dihapuskan , tetapi perbedaan kelas itu sendiri”. (2) Prestasi besar Marx dan Engels dalam melihat proses sejarah sesungguhnya atau, dalam pandangan mereka, bahwa sosialisme bisa menjadi realitas material. Dan mereka menemukan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. ”Untuk membuat ilmu tentang sosialisme”, Engels menunjuk pada pamfletnya pada tahun 1880, “Socialism: Utopian and Scientific”, yang menjelaskan bahwa “sosialisme harus ditempatkan pada basis riil/nyata nya” (3).

“Basis riil/nyata” tersebut adalah konsepsi materialis dalam memahami sejarah, yang dapat menunjukkan bahwa sosialisme tidak dapat dijelaskan berdasarkan persuasi (semua) moral kemanusiaan yang memiliki visi masyarakat tanpa kelas, tetapi melalui perebutan kekuasaan politik oleh kelas tertindas, yakni proletariat. Hal tersebut lah yang merupakan kesimpulan utama dari kerja awal Marx dan Engels dalam menggarap prinsip-prinsip teori/ilmu materialisme historis—lihat The German Ideology.

Ditulis antara bulan November, 1845 sampai April, 1846, The German Ideology—yang tak pernah diterbitkan saat Marx dan Engels masih hidup —menjelaskan bahwa terdapat kontradiksi antara perkembangan tenaga produktif manusia dengan (bentuk kadaluarsa) kepemilikan tenaga produktif, dan itulah yang merupakan basis material perubahan dari satu sistem sosial ke sistem sosial lainnya. Juga ditunjukkan bahwa kontradiksi objektif tersebut merupakan akar persoalan perjuangan kelas antara proletariat dengan kapitalis (penghisap), perjuangan yang hanya bisa diselesaikan oleh revolusi komunis.

Di awal tulisan “Theses on feurbach”, yang diterbitkan tahun 1845, Marx telah merumuskan gagasan bahwa, lewat praktek revolusiner, manusia tak sekakadar merubah situasi materialnya saja tetapi juga merubah diri mereka sendiri. Dalam “The German Ideology”, Marx dan Engels menekankan bahwa susunan sosial baru yang kwalitatif hanya bisa diwujudkan melalui revolusi sosial. Menurut mereka, revolusi sangat dibutuhkan “…tak hanya karena kelas berkuasa tak bisa digulingkan dengan cara lain, tetapi juga karena penggulingan kelas hanya bisa diwujudkan oleh keberhasilan revolusi untuk melepaskan diri mereka dari semua sampah zaman dan menemukan masyarakat yang baru”. (4)

Langkah pertama dalam revolusi sosial-komunis, menurut “The German Ideology”, adalah perebutan kekuasaan politik oleh proletariat. Gagasan tersebut digambarkan sebagai berikut, ”Setiap kelas yang mendominasi, bahkan ketika dominasinya dilakukan oleh proletariat, akan mengarah mengarah pada penghilangan bentuk masyarakat lama—yang kreteria dominasinya secara umum dilihat juga dari segi jumlahnya—dan untuk mencapainya pertama-tama harus merebut kekuasaan politik.” (5)

Sering diasumsikan bahwa kontribusi utama yang telah dibuat Marx kepada pemikiran sosialis adalah ide bahwa sejarah adalah produk perjuangan/pertarungan antara kelas-kelas sosial. Bagaimanapun, Marx sendiri mendebat dirinya sendiri tentang pandangan ini. Dalam sebuah surat yang di tulis tanggal 5 Maret, 1852, Marx menjelaskan secara gamblang apa yang menurutnya benar-benar baru:

“Sejauh menyangkut diriku, tak ada kewajiban yang dibebankan padaku untuk membongkar eksistensi kelas-kelas dan perjuangannya dalam masyarakat modern. Jauh sebelumku, sejarawan borjuis telah menggambarkan perkembangan historis perjuangan kelas tersebut, dan ekonom borjuis telah memberikan anatomi ekonomi kelas-kelasnya. Apa yang baru dariku adalah penjelasan: 1) bahwa keberadaan kelas-kelas terkait dengan fase-fase sejarah dalam perkembangan produksi, 2) bahwa perjuangan kelas mau tak mau mengarah pada kediktatoran proletariat, 3) bahwa kediktatoran ini sendiri hanyalah bentuk transisi/peralihan menuju penghapusan seluruh kelas dalam masyarakat atau pembentukan measyarakat tanpa kelas.” (6)

Menurut Lenin, tidak benar bahwa poin utama teori Marx adalah perjuangan kelas. Hal tersebut telah dijelaskan oleh para ideolog kelas kapitalis sebelum Marx, dan secara umum diterima borjuis. Apa yang diajarkan Marx adalah sesuatu yang baru, yang tak bisa diterima oleh para pemikir borjuis, yaitu pengakuan bahwa perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis modern hanya bisa diakhiri dengan perebutan kekuasaan Negara oleh kelas terhisap, yakni kelas pekerja. Dengan memberi komentar briliannya pada tahun 1917, yakni dalam tulisannya yang berjudul Negara dan revolusi, menurut Lenin, “dalam hal ini, Marx berhasil menjelaskan dengan gamblang, pertama, perbedaan radikal antara teorinya dengan teori terdahulu dan para pemikir borjuis; dan, kedua, intisari teorinya tentang negara”. (7) Dalam hal ini, Lenin mencoba mensistimatisir ide sentral dalam doktrin politik Marx.

Walaupun tidak tertata dengan baik, The German Ideology mampu menemukan kesimpulan teoritis tentang tugas riil kaum sosialis yakni, sebagaimana yang ditekankan oleh Lenin pada tahun 1899, “tidak menawarkan rencana membentuk lagi masyarakat, tidak dengan berkhotbah kepada kapitalis , tidak dengan mengadakan konspirasi, tetapi mengorganisir perjuangan kelas proletariat dan memimpinnya, tujuan utamanya adalah perebutan kekuasaan politik oleh proletariat dan mengorganisir masyarakat sosialis”.(8)

Dalam sepucuk surat kepada kaum sosialis Denmark pada tahun 1889, Engels menunjukkan bahwa “…kaum proletariat tak bisa merebut kekuasaan politik—sebagai satu-satunya pintu ke arah masyarakat baru—tanpa revolusi kekerasan. Bagi proletariat, agar menjadi cukup kuat untuk memenangkan pertarungan pada hari yang menentukan, maka mereka harus membentuk partai tersendiri, berbeda dengan yang lainnya, bertentangan dengan yang lainnya, yakni sebuah partai kelas yang sadar”. (9)

3

Setelah tahun 1844-45, setelah Marx dan Engels menyepakati beberapa prinsip dasar sosialisme ilmiah dan merumuskannya lebih rinci, seperti yang mereka tuangkan dalam menyusun “The german Ideology”, mereka kemudian, pada tahun 1846, berusaha, seperti yang dikatakan Engels, “memenangkan Eropa, dan sasaran pertamanya adalah proletariat German”. (10)

Di awal 1846, mereka merancang Komite Korespondensi Komunis Brussel, yang tujuannya adalah untuk membangun kontak dengan kelas pekerja radikal dan pemimpin-pemimpin sosialis di seluruh Eropa Barat, serta memfasilitasi penyebaran ide-ide sosialis ilmiah di kalangan mereka. Anggota komitenya terdiri dari Emigran Jerman, termasuk Breslau (bekas guru),Wilhelm Wolf, dan Joseph Werdemeyer (bekas serdadu artileri Prussia).

Marx dan Engels mendirikan komite yang sama ditempat lain, terutama di Jerman. Lewat Wolf, mereka membangun kontak dengan intelektual komunis di Silesia, sementara Werdemeyer berusaha membangun Komite Korespondensi Komunis di Westphalia dan propinsi Rhine.

Dalam membuat garis taktik yang harus diikuti kaum komunis di Jerman, Marx dan Engels menyarankan mereka agar mendukung tuntutan borjuis dalam hal konstitusi demokratik, kebebasan pers, perwakilan/parlemen dan sebaginya, karena bila tuntutan tersebut tercapai maka “era baru bagi propaganda komunis akan datang” (11). Konsekwensinya, kaum komunis harus mengambil peran aktif dalam aksi massa menentang rejim absolut feodal Jerman dan membantu kemenangan revolusi demokratik borjuis di Jerman agar terdapat kondisi yang lebih mudah bagi perjuangan proletariat melawan borjuis. Itu lah garis taktik yang diterapkan Marx dan Engels beserta organisasi mereka selama revolusi Jerman 1848.

Di antara mereka yang menerima pamflet dan surat kabar dari Brussels adalah para pemimpin Liga Keadilan Masyarakat Rahasia, dibentuk tahun 1836, yang anggotanya terdiri dari emigran Jerman, kebanyakan penjahit.

Beberapa tahun sebelumnya, Marx dan Engels telah bertemu pemimpin Liga Keadilan di Paris dan London, dan mereka diminta bergabung dengan organisasi tersebut. Namun demikian, pada saat itu, Liga Keadilan benar-benar dipengaruhi oleh pandangan borjuis-kecil romantik dan reaksioner—yakni posisi yang mempercayai kemungkinan tercapainya masyarakat tanpa kelas secara dadakan/instan bila hal tersebut ditetpakan/dilaksanakan oleh pemerintah revolusioner, yang salah satu tugasnya adalah mendistribusikan barang-barang konsumsi secara adil. Mereka menyangka bahwa pemerintahan revolusioner ersebut bisa terwujud tanpa melalui pengambilalihan kekuasaan politik oleh gerakan massa pekerja revolusioner, tetapi sekadar mengikuti ide-ide seorang komunis utopia Prancis, August Banqui, yakni melalui sebuah kudeta oleh masyarakat rahasia atau konspirator. Marx dan Engels menolak bergabung dengan Liga karena tak menyetujui tujuan dan maksud yang ditawarkannya, atau karena bertentangan dengan sosialisme proletariat.

4

Mendekati akhir tahun 1846, terjadi perubahan pandangan/posisi ideologi para pemimpin Liga Keadilan. Mereka tak puas dengan berbagai skema sosialis utopia, yang dinilai telah gagal menjawab persoalan-persoalan praktis gerakan kelas pekerja yang mereka organisir. Pada saat itu, mereka mulai melihat ide sosialisme ilmiah yang dipropagandakan di Brussels oleh Marx dan Engels , yang dianggap bisa merumuskan gerakan kelas pekerja ke arah yang benar.

Pada bulan November, 1846, komite eksekutif Liga Keadilan—di antaranya adalah Heinrich Bauer (si tukang sepatu), Joseph Moll (si pembuat jam), dan Karl Schapper (si juru ketik)—mengkampanyekan perlunya Kongres Komunis Internasional yang akan diselenggarakan pada bulan Mei, 1847 di London. Untuk itu, Moll diutus untuk menemui Marx di Brussels dan menemui Engels di Paris untuk meminta kesediaan mereka bergabung dengan Liga Keadilan dan turut terlibat dalam menyiapkan dokumen-dokumen Kongres. Mereka dijanjikan kebebasan penuh untuk menyampaikan pendapat. Dibawah kondisi tertentu, Marx dan Engels, yang sedang mencari organisasi yang lebih besar untuk bekerja di dalamnya, memutuskan untuk bergabung dengan Liga. “…pokoknya, anggotanya berkekuatan ratusan orang,” tulis Engels kepada Marx bulan Desember, 1846. (12)

Bulan Februari, 1847, Komite Eksekutif Liga Keadilan mengirimkan panggilan kedua, yang mencerminkan hasil diskusi antara pimpinan Liga Keadilan dengan Moll, Marx dan Engels. Komite tersebut melakukan gerakan Chartist di Inggris, yang mereka nilai sebagai sebagai sebuah contoh bagi kaum komunis namun ”sangat disesalkan, belum membangun sebuah partai” (13). Komite tersebut mengundurkan jadwal kongres, dari bulan Mei ke bulan Juni, untuk memberi waktu yang lebih lama bagi persiapannya. Agenda kongres termasuk reorganisasi menyeluruh Liga Keadilan, penetapan peraturan baru, konsiderasi program, dan sebuah terbitan periodik.

Kongres diselenggarakan pada tanggal 2-7 Juni, 1847. Marx tak bisa untuk menghadirinya karena tak punya uang. Engels, yang kemudian menjadi anggota Liga Keadilan, datang sebagai utusan cabang Paris, sementara Wolf datang sebagai utusan cabang Brussels.

5

Demi seluruh tujuannya, kongres membuat mendirikan suatu organisasi yang benar-benar baru, yakni dengan struktur dan prinsip-prinsip ideologi yang baru, serta nama yang baru pula, Bund der Kommunisten, atau Liga Komunis. Nama tersebut diambil berdasarkan program Liga Komunis, yang diselesaikan dan diringkas Engels (dalam bentuk kitab yang revolusioner) pada kongres berikutnya, dan kemudian populer di kalangan masyarakat pekerja sehingga diputuskan untuk disebarkan dan didiskusikan di cabang-cabang lokal.

Peraturan baru dirancang dengan partisipasi langsung Engels dan Wolff, kemudian disebarkan untuk didiskusikan di cabang-cabang lokal, sebelum ditetapkan dalam kongres berikutnya. Berdasarkan persetujuan antara Marx dan Moll, Liga Komunis mencabut semua praktek-praktek masyarakat konspiratif, yakni ritual semi-mistik dalam membai’at anggota baru, sumpah kesetiaan, peraturan mengenai tugas-tugas, dan konsentrasi berlebihan pembuatan keputusan di tangan lembaga-lembaga pimpinan yang tidak dipilih.

Di bawah peraturan baru, pembuat keputusan tertinggi Liga Komunis adalah Kongres, yang terdiri dari delegasi cabang-cabang lokal. Satu klausula dalam rancangan peraturan, yang memberikan hak pada organisasi lokal untuk menerima atau menolak keputusan Kongres, kemudian dihapus atas desakan Marx. Di antara Kongres dengan organ eksekutif Liga Komunis terdapat “Otoritas Sentral”, sebuah komite yang paling sedikit terdiri dari lima orang yang dipilih oleh “Lingkaran” atau “Distrik” saaat kongres diselenggarakan. Pada saat kongres diselenggarakan, Anggota Otoritas Sentral ditempatkan tanpa hak mengambil keputusan.

Unit basis Liga Komunis disebut “Komunitas”, yang anggotanya teridiri paling sedikit tiga orang dan paling banyak 20 orang. Masing-masing “Komunitas” memilih dua orang pimpinan—seorang ketua, yang memimpin pertemuan-pertemuan; dan wakilnya, yang bertanggung-jawab bagi pendanaan “Komunitas”. Dua atau lebih “Komunitas” dikelompokkan bersama sebagai sebuah ”Lingkaran”, sebuah organ eksekutif yang terdiri dari orang-orang yang dipilih komunitas masing-masing, dan akan diketuai oleh seorang Presiden terpilih. “Lingkaran-lingkaran” dalam suatu negara bagian atau propinsi disubordinasikan ke dalam “Lingkaran Otoritas”, yang dipilih Kongres dan bertanggung-jawab kepada “Otoritas Sentral”.

“Komunitas”, “Lingkaran Komunitas”, dan “Otoritas Sentral” bertemu paling sedikit sekali dalam empatbelas hari. Anggota “Lingkaran Otoritas” dan “Otoritas Sentral” dipilih setahun sekali, dan dapat dipilih serta dicopot (recall) kembali jabatannya oleh para pemilih setiap saat. “Otoritas Sentral” berwenang menyelenggarakan diskusi di kalangan anggota Liga Komunis.

Anggota yang maju, yang telah paham dan patuh pada pertauran, ditempatkan di Liga Komunis dengan persetujuan komunitas lokal mereka. Juga dibuat peraturan mengenai pemecatan anggota yang merusak kondisi keanggotaan, dan anggota yang dipecat itu dapat diakui kembali hanya dengan kebijakan “Otoritas Sentral” atas usulan “Lingkaran”.

Anggota Liga Komunis diharuskan mengakui prinsip-prinsip Liga Komunis, mengatur suatu “jalan hidup dan aktivitas yang berhubungan” (14) dengan tujuan-tujuan organisasi, mensubordinasikan aktifitas mereka kepada keputusan-keputusan organisasi, menjaga kerahasiaaan urusan internal Liga Komunis, tidak berartisipasi dalam organisasi anti-komunis, dan segera memberi tahu kepada organisasi tentang partisipasinya di organisasi lain. Persyaratan yang terakhir tersebut ditulis dalam peraturan yang kemudian, atas inisiatif Marx, menjadi rancangan yang mengatur larangan inisial sectarian bagi anggota Liga Komunis yang bergabung dalam organisasi politik lain.

Marx kemudian mengatakan bahwa: ”Konstitusi demokratis ini, yang tidak tepat untuk masyarakat konspiratif (rahasia), pada tingkat tertentu, tidak bertentangan dengan tugas-tugas masyarakat propaganda.”

Kongres pertama Liga Komunis juga memutuskan untuk menghapuskan semboyan borjuis-kecil “Semua Manusia adalah Saudara”, dan menggantinya dengan semboyan yang dibuat Engels “Kelas Buruh Seluruh Dunia, Bersatu lah” (15)

Sekalipun demikian, di samping semua kemajuan ideologis yang diperoleh dalam kongres pertama, mereka terus memperlakukan Liga dalam pandangan-pandangan borjuis-kecil Liga Keadilan. Peraturan tersebut mendeklarasikan bahwa tujuan Liga adalah untuk “Menghancurkan perbudakan manusia dengan mencurahkan/mewujudkan segala upaya teori komunitas barang dan prakteknya secepat mungkin”. (16)

6

Berdasarkan kondisi obyektif di Jerman dan hambatan-hambatan yang ditemui para emigran dalam aktivitas politik mereka di negeri-negeri dengan rejim liberal, seperti Belgia dan perancis, Liga Komunis terpaksa harus bersifat organisasi rahasia. Tetapi Marx bersikukuh, berusaha meyakinkan bahwa organisasi tersebut tidak boleh mewarisi keadaan organisasi sebelumnya, terisolasi, kekuarangan kontak dengan massa dan pekerja. Ia percaya bahwa organisasi rahasia pekerja tetap memiliki pelopor; Liga Komunis harus dikelilingi dan bekerja dalam suatu jaringan kerja komunitas pekerja yang terbuka, seperti Masyarakat Pendidikan Pekerja Jerman di London. Liga Komunis juga harus membangun kontak dengan Masyarakat Pendidikan Pekerja yang sudah ada atau mendirikan yang baru.

Ide tersebut segera dipraktekkan, yakni dengan bekerja dalam Masyarakat Pendidikan Pekerja Jerman, yang didirikan oleh Liga Komunis di Brussels pada akhir Agustus, 1847. Anggota intinya berkembang dari 37 orang menjadi 100 orang dalam beberapa bulan. Organisasi tersebut menyediakan perpustakaan, menyelenggarakan kuliah bagi para pekerja, dan beberapa perayaan-perayaan sosial. Kemudian, Marx mengatakan: “Liga Komunis, yang berdiri di belakang komunitas pekerja terbuka, langsung menemukan ruang (mendesak) aktivitas mereka untuk berpropaganda secara terbuka dan juga mampu membesarkan dirinya sendiri bersama anggota-anggota terbaiknya. (17)

Rencana kongres pertama yaitu menerbitkan bacaan periodic liga secara teratur, ternyata hanya bisa direalisir satu nomor, yaitu edisi September, 1847, dengan nama Kommunistische Zeitschrift. Artikel dalam terbitan tersebut sebagian besar ditulis oleh Schapper, yang mengritik ide-ide sosialis utopia dan menjelaskan pandangan komunis terhadap persoalan taktis yang ditemui gerakan kelas pekerja di Jerman. Karena kurang dana, nomer dua tidak bisa terbit. Namun demikian pada tahun 1847, pimpinan Liga Komunis di Brusssels mengorganisir pengambilalihan kontrol editorial majalah tiga mingguan kelas pekerja yang sudah ada, yakni Deutsche-Brusseler Zeitung. Sejak itu, sampai nomer terakhir yang diterbitkan, yakni pada tanggal 27 Februari, 1848, koran tersebut merupakan organ tak resmi Liga Komunis.

7

Langkah selanjutnya dalam konsolidasi organisasional dan ideologis Liga Komunis adalah Kongres kedua, yang diselenggarakan di London pada tanggal 28 November hingga 8 Desember, 1847. Saat itu, baik Marx, maupun Engels, hadir. Program merupakan agenda utama kongres. Marx dan Engels harus mengerahkan seluruh kemampuannya dalam Kongres 10 hari tersebut untuk meyakinkan mayoritas yang hadir akan kebenaran pandangan mereka dan, akhirnya, mereka berhasil.

Hal tersebut tercermin dari perubahan pada pasal 1 peraturan Liga. Tujuan lama, yang ideal, yakni ”Masyarakat Barang” digantikan dengan formulasi baru. Tujuan baru Liga adalah ”Menggulingkan borjuasi, melenyapkan dominasinya terhadap proletariat, menghancurkan masyarakat borjuis yang berdasarkan antagonisme kelas, dan membangun masyarakat baru tanpa kelas serta tanpa kepemilikan pribadi.”(18)

Berdasarkan hasil kesepakatan, Kongres memberikan tanggung-jawab kepada Marx dan Engels untuk merancang secara rinci “praktek dan teori program partai” (19). Mereka menerimanya dan, kemudian, mereka menulis manifesto komunis.

Manifesto tersebut terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama, dibuka dengan pernyataan klasik: ”Sejarah semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”, garis besar pertumbuhan kelas kapitalis dan penghapusan feodalisme. Bagian pertama ini menyatakan bahwa tenaga produktif yang dibuat dalam masyarakat borjuasi—produksi mekanik mekanik berdasarkan kepemilikan pribadi terhadap sumber-sumber produktif proletariat, dan buruh-tersosialisasi—tidak lagi tepat dengan hubungan (sosial) produksi yang ada. Proletariat adalah kelas yang tak memiliki apa-apa, yang hanya mendapat upah yang ditentukan oleh borjuis, dan merupakan kelas revolusioner baru yang akan mengorganisir (secara sosial) buruh-kooperatif, serta satu-satunya kelas yang bisa mengambilalih tenaga produktif kooperatif demi kemajuan kesejahteraan manusia. Tetapi karena kemenangan borjuis terhadap kelas feodal merupakan penggantian peran sosial dari satu minoritas penindas ke minoritas penindas lainnya, maka, kemenangan proletariat dalam perjuangan kelas akan menguatkan mayoritas yang tertindas sehingga, dengan demikian makna pembebasan sosialnya menuntut penghapusan segala penindasan dan penghisapan kelas.

Bagian kedua menjelaskan peranan kaum komunis dalam perjuangan kelas antara proletariat dan borjuis.

Bagian ketiga menggambarkan pemikiran-pemikiran lain yang menyebut dirinya sebagai sosialis: kritik aristokrat feodal terhadap kapitalisme, perwaklan (anti-kapitalis) dari keruntuhan kelas pemilik kecil desa dan kota, reformis sosial-borjuis, dan sekte sosialis utopia idealis.

Bagian keempat menjelaskan posisi kaum komunis dalam kaitannya dengan gerakan demokratik radikal lainnya, dan tugas mendesak kaum komunis dalam revolusi demokratik borjuis di Jerman.

8

Walaupun nyata bahwa program Liga Komunis tertulis dalam Manifesto Partai Komunis, namun Marx dan Engels mengakui bahwa Liga Komunis hanyalah masih merupakan cikal-bakal dari partai yang mereka cita-citakan.

Manifesto tersebut hanya mengatur hal-hal paling umum mengenai konsepsi Marx dan Engels tentang partai kelas pekerja. Dalam bagian pertama Manifesto, mereka menunjukkan bahwa partai proletariat merupakan “organisasi proletariat dalam sebuah kelas”, yang “memaksa pengakuan legislatif terhadap kepentingan utama pekerja dengan mengambil keuntungan dari perpecahan di antara borjuis sendiri”.

Acuan mendesak yang dituntut pada legislatif, yaitu nota 10 jam kerja di Inggris, menurut Marx dan Engels menggambarkan perkembangan historis aktual pertama gerakan politik kelas pekerja, Asosiasi Perjanjian Nasional, di Inggris. Gerakan Chartis adalah front persatuan longgar serikat buruh, para pejuang yang menuntut 10 jam kerja sehari, demokrat-radikal dan humanis-borjuis, yang mencapai puncak aktivitasnya pada tahun 1842 dan runtuh pada tahun 1848.

Dalam bukunya tahun 1847, “The Poverty of Philosophy”, (20) yang isinya membantah si anarkis Perancis Pierre Proudhon, Marx menggambarkan transformasi perjuangan mereka, pertama, ketika masuk ke dalam serikat buruh, dan, kemudian, ketika masuk ke dalam “Partai politik besar di bawah nama Chartists”. Gambaran tersebut memperlihatkan kelas pekerja Inggris mulai mengembangkan dirinya, dari tidak berbentuk, memfragmentasikan “kelas dalam dirinya sendiri”, menjadi kohesif-nasional, mempertimbangkan “kelas untuk dirinya sendiri”.

Konsep Marx bahwa “setiap perjuangan kelas adalah perjuangan politik” (21), bukan berarti bahwa setiap perjuangan kelompok kecil buruh melawan majikan mereka adalah perjuangan politik. Dalam surat yang ditulis pada tanggal 23 November, 1871, Marx menjelaskan bahwa perjuangan kelas sejati adalah perjuangan kelas pekerja yang telah terorganisir dengan baik ketika menuntut kepentingan umum mereka melawan kekuatan (kolektif) politik kelas kapitalis. Tugas kaum komunis adalah melatih kelas pekerja “mengambil inisiatif kampanye melawan kekuatan (kolektif) politik kelas yang berkuasa, melalui agitasi terus menerus melawan kekuatan tersebut dan dengan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap kebijakan kelas yang berkuasa”. Menurut Marx, dimanapun bila kelas pekerja kekurangan pelatihan revolusioner maka mereka “akan menjadi kelas pekerja yang menyerahkan permainan ke tangan perwakilan politik borjuis”. (22)

Bagian kedua Manifesto dipersembahkan untuk menjawab pertanyan “dalam hubungan apa kaum komunis mengemban kepentingan proletariat sebagai keseluruhan?” Bagian kedua Manifesto, memberi jawabannya: ”kaum komunis tidak membentuk partai terpisah dari partai kelas pekerja lain”. Hal tersebut dikarenakan mereka “tidak mempunyai kepentingan yang terpisah dari proletariat secara keseluruhan”. Lantas, mereka saling membantu dalam mencapai “tujuan mendesak” yang sama, selayaknya: ”seperti partai proletariat lain: mengukuhkan proletariat ke dalam suatu kelas, menggulingkan supremasi borjuis, merebut kekuasan politik oleh proletariat sendiri”.

Apa yang membedakan kaum komunis dengan partai kelas pekerja lainnya adalah: 1) dalam perjuangan nasional proletariat di berbagai negeri, mereka menunjukkan bahwa terdapat front kepentingn (umum) seluruh proletariat, pembebasan proletariat seluruh bangsa; dan 2) dalam berbagai tahapan perkembangan perjuangan kelas pekerja melawan borjuis, mereka selalu mewakili kepentingan gerakan secara keseluruhan.

Konsekuensinya, menurut Manifesto, dalam prakteknya kaum komunis ”di setiap negeri, merupakan bagian termaju atau paling menentukan di antara partai kelas pekerja lainnya, merekalah yang akan mendorong bagian lainnya”. Itu karena partai komunis, “di antara proletariat keseluruhan, mempunyai keuntungan yang lebih besar: mengerti benar garis massa, kondisi, dan hasil hasil utama gerakan proletariat.”

Dalam Poin polemik melawan Pieree Proudhon, setahun sebelumnya, poin tersebut pernah diucapkan Marx: kaum komunis adalah “teoritisi kelas prletariat”. (23)

Lalu, apa makna pernyataan Manifesto tentang hubungan antara kaum komunis dan kelas pekerja sebagai keseluruhan, yakni: bahwa kaum komunis tak mempunyai kepentingan yang terpisah dari kepentingan proletariat secara keeluruhan; bahwa mereka adalah pelopor teoritis kelas pekerja, dikombinasikan dengan pernyataan tentang bagaimana Liga Komunis, organisasi kecil kader revolusioner, yang memiliki beberapa ratus aggota yang menyebar ke seluruh Eropa Barat, harus berhubungan dengan organisasi politik kelas pekerja yang jauh lebih besar, misalnya saja organisasi Chartist dengan 40.000 anggotanya di Inggris? Jawabannya: para kader Liga Komunis, sambil membesarkan organisasi mereka sendiri, harus bergabung dengan organisasi kelas pekerja yang lebih besar dan harus membuat anggota organisasi tersebut yakin dengan pandangan-pandangan komunisme.

Pernyataan tersebut didasarkan pada orientasi taktis yang dipercaya Marx dan Engels: Liga Komunis yang kecil bisa bertransformasi menjadi sebuah Partai Komunis berbasis massa.

9

Liga Komunis itu sendiri runtuh tahun 1852 karena akibat gelombang reaksi dan represi yang menyapu Eropa pasca Revolusi borjuis demokratik yang gagal pada tahun1848-1849.

Dalam tahun-tahun awal keruntuhannya, Liga Komunis terpecah menjadi faksi-faksi antara Marx dan Engels serta pendukungnya, di satu sisi, dengan Schapper dan Willich serta pendukung mereka, di sisi lainnya.

Perjuangan faksional dimulai diakhir 1850, ketika Marx dan Engels menyimpulkan bahwa konsesi ekonomi yang diberikan monarki absolut di Jerman telah melicinkan jalan bagi ekspansi produksi kapitalis. Sampai pertengahan tahun 1850, Marx dan Engels percaya bahwa krisis ekonomi seperti tahun 1847 akan segera dating, dan krisis baru itu akan memancing perjuangan revolusiner di Eropa. Namun demikian, ramalan yang didasarkan pada studi ekonomi mereka ternyata tidak benar.

Marx dan Engels juga tak memiliki harapan lagi seperti sebelumnya bahwa akan terjadi revolusi proletariat di Perancis, yang akan mempercepat dan memudahkan transformasi revolusi borjuis Jerman bisa menjadi revolusi sosialis. Pernyataan prematur tersebut didasarkan pada penghitungasn kematangan kapitalisme di Eropa dan perkembangan kondisi material bagi transisi revolusioner ke sosialisme. Dalam pengantar dalam buku Marx tahun 1850, “Class Struggle in France”, Engels, pada tahun 1895, menulis : ”Sejarah telah membuktikan pada kita, bahwa ramlan kami salah; Sejarah telah memperjelasnya bahwa perkembangan ekonomi di negeri-negeri benua Eropa tersebut masih memerlukan jalan atau belum lah matang untuk menghapuskan produksi kapitalis.” (24)

Berangkat dari pendapat baru mereka tentang situasi obyektif, Marx dan Engels menyimpulkan bahwa tugas utama Liga Komunis untuk masa yang akan datang adalah mempersiapkan dan mengakumulasikan secara bertahap kader-kader proletariatnya, memberikan mereka dasar teori yang kuat, memperkuat hubungan mereka dengan organisasi kelas pekerja yang lain yang lebih besar, dan mengambil emua kesempatan untuk mempropagandakan sosialisme.

Mayoritas anggota Liga Komunis di London tidak setuju dengan persektif tersebut. Mereka menolak pendapat yang menyatakan bahwa untuk melancarkan revolusi komunis dibutuhkan persyaratan materialnya. Menurut mereka, revolusi di Jerman bisa diselesaikan hanya dengan usaha keras kader-kader militan revolusioner.

Perbedaaan pendapat tersebut muncul setelah Marx, dalam pidatonya di pertemuan luar biasa Komite Liga Komunis, 15 September, 1850, mengatakan: “Pandangan nasionalis Jerman telah digantikan dengan pandangan internasionalis seperti yang tertulis dalama Manifesto, dengan demikian, perasaan kebangsaan artisan jerman akan menghilang. Patokan awal materialis Manifesto telah menyimpang ke arah idealisme. Revolusi tidak dilihat sebagai produk realitas situasi yang ada tetapi sebagai hasil dari usaha yang dilakukan. Perbedaannya, yang materialis kan mengatakan kepada kelas pekerja: kalian membutuhkan 15, 20 atau 50 tahun untuk mengubah situasi dan melatih dirimu sendiri sebelum melancarkan perang saudara untuk mengambil kekuasaan; sedangkan yang idealis akan mengatakan pada kelas pekerja: kita harus segera mengambil kekuasaan, bila tidak, lebih baik tidur.” (25)

Pada pertemuan tersebut disetujui bahwa Liga distrik Cologne, tempat Marx dan Engels menetap, mendapat dukungan mayoritas untuk memimpin Komite Sentral. Namun demikian, faksi Willich dan Schapper dari distrik London menolak untuk mematuhi keputusan Komite Sentral Cologne. Ketika distrik London mengambil keputusan untuk membentuk Komite Sentral tandingan dan memecat Marx, Engels dan para pengikutnya dari Liga Komunis, Komite sentral Cologne memecat semua pendukung faksi Schapper dan Willich dari Liga Komunis. Kemudian faksi tersebut terpecah-pecah menjadi beberapa bagian yang terpisah.

Perpecahan di Liga Komunis dibarengi dengan masa gelombang reaksi di jerman, target polisi adalah para pengikut Marx dan Engels. Dalam laporan rahasia yang ditulis pada bulan April, 1852, Kepala Polisi Berlin menulis: ”Saat ini bisa dikatakan bahwa Partainya Marx dan Engels, yang terdiri dari para emigran, agitator dan Komite Sentral, tak bisa ditanyakan memiliki kekuatan dalam pengetahuan dan kemampuan. Namun, Marx sendiri dikenal luas memiliki kekuatan intelektual di ujung jarinya ketimbang yang dipunyai orang di kepala mereka.” (26)

Sisa anggota Liga Komunis di Jerman kemudian merusak Liga Komunis, organisasai tingkat benua. DI London keanggotaannya menyusut akibat perpecahan. Pada pertemuan Liga Komunis distrik London tanggal 17 November, 1852, sebuah mosi yang diajukan Marx disetujui: memisahkan organisasi local.

10

Manifesto Komunis, sebagaimana ditulis Marx dan Engels pada edisi kedua, yang diterbitkan pada tahun 1872, adalah sebuah dokumen historis yang harus dimenegerti latar belakang politiknya ketika Manifesto tersebut ditulis. Pada tahun 1872, Marx dan Engels mengatakan bahwa prinsip-prinsip umum Manifesto, sebagaimana mereka tulis tahun 1848, sudah benar secara keseluruhan. Prinsip-prinsipi umum tersebut diringkas dalam esai yang ditulis oleh seorang Marxisrevolusioner Rusia, Leon Trotsky, yang diterbitkan pertama kali tahun 1938.

Setelah 150 tahun Manifesto ditulis, terdapat perubahan besar di dunia, namun tak ada yang bertentangan dengan ide-ide dasar yang termuat dalam Manifesto. Bahkan, bilka dibandingkan dengan kapitalisme pada tahun 1848, kapitalisme sekarang ini jauh lebih dekat dengan abstraksi model kapitalisme seperti yang digambarkan pada bagian pertama Manifesto. Pada waktu itu, sisitim produksi kapitalis benar-benar dominan di Inggris. Di luar Inggris, proletariat modern, kelas pekerja yang dipekerjakan di industri-industri besar, hanya lah fraksi kecil dari seluruh populasi dunia. Sebagian besar pendusuk dunia adalah petani yang dihisap oleh pemilik tanah pra-kapitalis di bawah kekuasaan monarki.

Sekarang, para penerima upah, yang harus menjual tenaga kerjanya, mencapai 80% dari populasi aktif ekonomi Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia. Pada skala dunia, pekerja kota dan desa adalah mayoritas penduduk dunia. Hanya beberapa ratus keluarga kapitalis super kaya saja yang mendominasi kehidupanekonomi negeri-negeri kapitalis meaju melalui perusahaan-perusahaan raksasa dan usha-usaha finansial yang mereka miliki dan, selain itu, mereka juga mengkonsentrasikan kesejahteraan mayoritas ekonomi kapitalis dunia. Produktivitas kerjasama social buruh telah sedemikian meningkat dan meluas dengan skala, yang ketika Marx dan Engels masih hidup di pertengahan abada ke-19, produkstivitas demikian masih sangat absur. Namuin produktivitas tersebut disubordinasikan pada ketamakan pribadi untuk memperkaya keluarga-keluarga tersebut.

Bencana Krisis ekonomi dan social, dengan kata lain, kontradiksi, telah melahirkan hasrat merubah ekonomi pasar yang anarkis dengan manajemen yang terencana, atau hasrat untuk mengelola sumber-sumber produktif pemuas kebutuhan manusia pada basis prioritas pilihan yang demokratis dan sadar. Selama kontradiksi tersebut terus ada, kelas pekerja akan berjuang melawan kapitalis, si penghisap, dan Manifesto Komunis, sebagai dokumen pertama yang memberikan penjelasan ilmiah terhadap krisis tersebut dan, secara garis besar, memberikan strategi garis massa untuk membawanya ke hasil akhir perjuangannya, akan memberikan inspirasi dan tuntunan bagi kelas pekerja di seluruh dunia.

Catatan Kaki:

(1) “The Communist Manifesto, and its Relevance Today”, Resistance Marxist Library, New South Wales, Australia, 1998.

(2) K. Marx dan F.Engels, “Selected Works” (Moscow 1970), Volume 3, hal. 116-117.

(3) “Ibid”, hal. 126.

(4) K. Marx dan F. Engels, “Collected Works” (Moscow 1981), Volume 5, hal. 53.

(5) “Ibid”. hal. 49.

(6) K. Marx dan F. Engels, “Selected Correspondence” (Moscow 1975), hal. 64.

(7) V.I. Lenin, “Selected Works” (Moscow 1975), Volume 2, hal. 261.

(8) V.I Lenin, “Collected Works” (Moscow 1977), Volume 4, hal. 221.

(9) K. Marx dan F. Engels, “Selected Works”, Volume 3, hal. 179.

(10) K. Marx dan F. Engels, “Selected Correspondence”, hal. 386.

(11) Dikutip dalam P.N. Fedoseyef, “Karl Marx: A Biography” (Moscow 1977), hal. 117.

(12) K.Marx dan F. Engels, “Collected Works”, Volume 38, hal. 92.

(13) Dikutip dalam D.Struik , “The Birth of Comunist Manifesto” (New York 1971), hal. 57.

(14) K. Marx dan F. Engels, “Collected Works”, Volume 6, hal. 533-538.

(15) “Ibid”, Volume 17, hal. 78.

(16) “Ibid”, Volume 6, hal. 586.

(17) “Ibid”, Volume 17, hal. 78-79.

(18) “Ibid”, Volume 6, hal.633.

(19) K. Marx dan F. Engels, “Selected Works”, Volume 1, hal. 98.

(20) K. Marx, “The Poverty of Phylosophy (Moscow 1973) ,hal. 150.

(21) “Ibid”, hal. 150.

(22) K. Marx dan F. Engels, “Selected Correpondence”, hal. 254-255.

(23) K. Marx , “op.cit”, hal. 109.

(24) K. Marx dan F. Engels, “Selected Works”, Volume , hal. 191-192.

(25) K. Marx dan F. Engels, “Collected Works”, Volume 10, hal. 626.

(26) Fedoseyef, “op.cit”, hal. 264.

Metode Dialektika

(Ditulis oleh George Novack dalam An Introduction to the Logic of Marxism, yang merupakan bahan kuliah)

Bagian I

Memahami (secara benar) kemajuan ilmu-pengetahuan—yang, sejak abad ke-16, sudah berkembang begitu luas dalam berbagai bidang—merupakan salah satu cara untuk mempelajari metode dialektika secara lengkap. Kemajuan ilmu-pengetahuan menuntut suatu rekonstruksi (radikal) terhadap ilmu logika, sebagaimana juga meluasnya tenaga produktif kapitalis menuntut suatu transformasi (radikal) terhadap tatanan ekonomi dan politik. Hegel, dalam karya filosofisnya, menuntaskan revolusi dalam ilmu logika tersebut dengan penuh kebimbangan (baca: perhitungan), sebaliknya dari yang dilakukan oleh kaum revolusionis kampungan seperti kaum Jacobin yang, secara serampangan, mencoba menata kembali masyarakat dan negara Prancis. Metode dialektika Hegel, yang juga merupakan suatu prestasi dalam sejarah pemikiran, hanya layak disebandingkan dengan metode dialektika Aristoteles.

Karena itu, dalam mempelajari metode dialektika, harus didiskusikan juga konsepsi-konsepsi utamanya. Tujuannya: agar, dalam pelajaran awal logika formal, kita bisa memberikan perhatian khusus terhadap gagasan-gagasan utamanya, atau memfokuskan diri pada tiga hukum fundamentalnya, menuliskannya dalam bentuk formulasi dan, lebih jauh lagi, menganalisa gambaran-gambaran penerapannya serta kekurangan-kekurangannya yang ada.

Gagasan-gagasan metode dialektika bisa bersesuaian dengan metode-metode yang lain. Artinya: kami tidak akan dengan serta-merta memberikan satu atau beberapa hukum fundamental dialektika karena, dengan demikian, akan memagari seluruh sistem logika, sebagaimana yang terjadi dalam kasus logika formal. Kami tak akan mendekati dialektika sebagai sebuah sistem yang tertutup; karena, sebaliknya, dialektika merupakan sebuah sistem yang terbuka, memerlukan pendekatan yang elastis, kongkret dan lebih informal.

1. Perbedaan antara logika formal dengan logika dialektika dalam memandang realitas

Prosedur (yang paling utama) untuk memahami perbedaannya haruslah dengan menangkap motifnya—yang lahir atau dihasilkan karena terdapat perbedaan (menyolok) antara karakter berpikir logika formal dengan logika dialektika. Hukum-hukum dan gagasan-gagasan mendasar logika formal bisa diungkapkan dengan mudah dalam rumusan-rumusan yang sederhana, bahkan juga dengan persamaan-persamaan yang sederhana, karena jeneralisasi sepihak seperti itu memang menunjukkan hakekat utama, keberadaan sesungguhnya, dari cara berpikir formal. Sebagaimana sudah kami jelaskan, hukum-hukum dasar logika formal tidak berisi apa pun selain dari penguraian terhadap sebuah konsepsi tentang identitas yang sudah ditetapkan, hanya seperti itu saja, walau dalam bentuknya yang lain sekali pun.

Logika formal adalah istilah yang salah. Karena formalisme lah yang menjadi nafas kehidupannya, dan formalisme, di mana pun diletakkan, cenderung memelihara rumusan-rumusan mutlak dan tetap—di atas landasan model tiga hukum logika formal, yakni hukum-hukum yang menyatakan, menampung, kandungan realitas yang seolah-olah telah selengkap-lengkapnya, di manapun hukum-hukum tersebut dihadapkan pada realitas. Formalisme mengambil bentuk-bentuk yang spesifik dan episodik, yang dimanifestasikan pada alam, masyarakat, dan pikiran manusia—menilai alam, masyarakat, dan pikiran manusia sebagai sesuatu yang kekal, mutlak dan tetap.

Basis sudut pandang dialektika sepenuhnya berbeda, dan pandangannya terhadap realitas—yang bentuk-bentuknya bisa berubah—(dengan begitu) juga berbeda. Dialektika merupakan logika terhadap gerak, evolusi, dan perubahan. Realitas, sebenarnya begitu penuh dengan kontradiksi, begitu sukar dipahami, begitu beragam, dan tak bisa dikerangkeng dalam satu bentuk tunggal maupun dalam satu atau seperangkat rumusan. Setiap tahapan khusus realitas memiliki hukum-hukumnya sendiri, kategori khasnya sendiri, dan memiliki konstelasi kategori-kategori—yang berkaitan dengan bagaimana kategori-kategori tersebut berbagi/bersesuaian dengan tahapan lain realitas. Hukum-hukum dan kategori-kategori tersebut harus ditemukan melalui investigasi langsung terhadap seluruh kenyataan kongkret, karena hukum-hukum dan kategori-kategori tersebut tidak bisa didapatkan dari hasil perenungan pikiran semata, sebelum realitas materialnya dianalisa. Lebih jauh lagi, seluruh realitas berubah secara konstan, menyingkapkan setiap aspek baru realitas itu sendiri—dan perubahan tersebut harus dipertimbangkan karena tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam rumusan yang lama, apalagi aspek yang baru tersebut sudah bukan saja sekadar berbeda, tapi ia juga sering berkontradiksi dengan aspek yang lama.

Metode dialektika berusaha mengakomodir gambaran realitas (yang fundamental) tersebut. Sebagai titik awal keberangkatannya, dan sebagai landasan bagi prosedurnya, metode dialektika harus mempertimbangkan gambaran tersebut. Bila setiap perubahan realitas itu kongkret, penuh dengan pembaruan, mengalir seperti sungai, dibelah oleh kekuatan-kekuatan yang saling-bertentangan, maka dialektika—dalam kerangka logika—yang berusaha menjadi sebuah refleksi, cerminan, murni realitas, harus berbagi karakteristik yang sama dengan realitas. Pemikiran dialektis harus lah kongkret, mampu berubah, selalu segar, mengalir layaknya alur arus pemikiran yang berkilauan, dan siap mendeteksi, menangkap, kontradiksi dalam aluran arusnya.

Para ahli dialektika mengakui bahwa semua rumusan harus lah sementara dan terbatas sifatnya, karena semua bentuk eksistensi pun sifatnya sementara dan terbatas. Semua rumusan yang sifatnya terbatas dan sementara itu lah yang harus diterapkan pada ilmu-pengetahuan dialektika—pada hukum-hukumnya dan pada gagasan-gagasannya. Karena dialektika berhadapan dengan realitas yang selalu berubah, kompleks, dan berkontradiksi, maka rumusan-rumusannya memiliki batasan-batasan intrinsik. Dalam interaksinya dengan realitas obyektif, dan dalam proses pengembangan dirinya—sehubungan dengan aktivitasnya—pemikiran dialektika menciptakan, memelihara, namun selanjutnya juga menyingkirkan rumusan-rumusan lama pada setiap tahap pertumbuhannya. Dialektika mengalami pertumbuhan, berubah, sering dengan cara yang bertentangan, sesuai dengan kondisi material dan intelektual spesifik yang mengendalikannya. Dan dialektika telah melalui dua tahap perkembangan yang krusial, yakni perkembangan dalam versi idealis (Hegel) dan dalam bentuk materialis (Marxisme).

Karenanya, pemikiran dialektika tidak bisa sepenuhnya terdiri dari seperangkat rumusan yang tetap, dan dialektika juga tak dapat dikodifikasi dengan cara yang sama atau dikodifikasi dengan bidang yang sama, sebagaimana lazim dilakukan oleh logika formal. Mendesakkan semacam tuntutan terhadap dialektika, atau berusaha mencekokkan rumusan yang sempurna kepada proses-prosesnya, berarti mengkhianati upaya untuk membedakannya dari metode berpikir formal; cara seperti itu asing, tidak sesuai dengan hakekat esensial dialektika—suatu metode berpikir yang memiliki semangat yang hidup. Seperti kata Goethe, “Kawanku, teori itu berwarna abu-abu, tapi pohon kehidupan yang abadi itu berwarna hijau.”

Namun, semua uraian di muka tersebut bukan berarti dialektika merupakan subyek yang berada di luar hukum, atau bukan berarti tak memiliki hukum-hukum yang bisa dibentuk dalam kerangka yang jelas. Setiap logika harus berkemampuan mendeterminasikan dan mengekspresikan realitas obyektif secara kategoris. Jika tidak demikian, maka upaya untuk mempelajari dialektika akan menjadi upaya yang tak masuk akal, dan ilmu-pengetahuan tentang logika menjadi tak mungkin diwujudkan; selain itu, maka pemikiran logis akan tenggelam ke dalam skeptisisme, yang produk logisnya adalah mistisisme. Segala sesuatu yang terjadi bukan lah hasil dari kekuatan-kekuatan yang mistis, melainkan hasil dari hukum-hukum yang bergerak secara regular dan memiliki kepastian. Itu lah kebenaran yang diperoleh dari proses-proses mental—di sini lah logika secara langsung menempatkan dirinya. Artinya, hukum-hukum proses mental itu memang ada, dan hukum-hukum tersebut bisa ditemukan, diketahui, dan dipergunakan.

Berangkat dari penjelasan sebelumnya, maka dialektika menggabungkan sistemnya sendiri dan menggunakan perangkat-perangkat logika formal—definisi yang ketat, klasifikasi, koordinasi kategori-kategori, silogisme, penilaian, dan sebagainya. Akan tetapi, logika formal menempatkan alat-alat pemikiran tersebut sebagai pelayannya, bukan tuan bagi proses pemikiran. Sebenarnya, elemen-elemen pemikiran logis tersebut seharusnya menyesuaikan diri dengan proses realitas dan dengan realitas pemikiran. Elemen-elemen tersebut tak diperbolehkan melangkahi batas-batas manfaatnya yang ada, tak boleh memaksa (baik realitas obyektif maupun pemikiran), dan tak boleh mengadaptasikan dirinya pada mekanisme dialektika, sebagaimana dilakukan dan dituntut oleh kaum formalis yang picik.

Sebagaimana mesin, alat-alat disubordinasi dan diadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhan proses produksi dan produknya, tak lebih dari itu. Karenanya, seharusnya, bersesuaian dengan alat-alat pemikiran yang dibentuk oleh logika formal atau logika dialektika. Masing-masing harus menemukan tempatnya yang tepat dalam proses produksi mental, bekerjasama dengan alat-alat dan operasionalisasi kerja masing-masing, guna memperoleh hasil yang diharapkan—itu lah konsepsi reproduksi realitas material yang tepat.

Sehubungan dengan teoritisasi formalistik—yang dilakukan oleh seorang profesor Jerman, Stammler, penulis wacana “Ekonomi dan Hukum”, yang berpengaruh terhadap sejumlah intelektual Sosialis Eropa; sebagaimana juga gagasan-gagasan filsuf Morris Cohen, yang berpengaruh terhadap sejumlah intelektual Amerika—Trotsky menegaskan: “Apa yang ditulis oleh Stammler hanya lah salah satu dari sekian banyak usaha untuk memaksa arus besar alam dan sejarah manusia—sejak masih amuba hingga menjadi manusia sekarang ini, dan lain-lainnya—dengan berkubang dalam lingkaran tertutup kategori abadi, yang realitasnya hanya sebatas salinan otak orang yang sok berilmu”. (My Life, hal.119).

Kebiasaan mental yang ditanamkan oleh orang-orang yang sok berilmu itu begitu susah dihilangkan. Khususnya ketika kebiasaan tersebut berakar dalam pemikiran yang dilatih di universitas-universitas borjuis. Menurut kebiasaan tersebut, dialektika dipaksa memberikan temuan hukum-hukum dan gagasan-gagasannya agar berlaku di setiap waktu, untuk semua kegunaan, di semua lingkungan, dan itu sama artinya dengan meniadakan dialektika itu sendiri. Jelas, dialektika tak bisa memenuhinya. Karena, sekali lagi, usaha seperti itu akan mengingkari hakekat utama dialektika itu sendiri, dan dialektika akan tergelincir kembali ke dalam formalisme.

Sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya hukum serta gagasan dialektika digambarkan, hasilnya pasti tak akan pernah lebih dari: ‘kira-kira, ini lah yang benar’. Hukum dan gagasan dialektika tak bisa mencakup seluruhnya dan, juga, tak abadi. Tuntutan semacam itu seringkali diminta dan didesakkan oleh kaum borjuis kecil gerakan Marxis yang tetap diperbudak oleh formalisme kehidupan dan pemikiran akademik. Dalam hal itu, Engels berkata, “Sistem pengetahuan alam dan sejarah, yang mencakup segalanya dan dianggap tuntas saat terakhir disimpulkan, tetap berkontradiksi dengan hukum-hukum fundamental metode berpikir dialektika; dialektika lepas atau jauh dari tujuan untuk melakukan pembatasan atau, sebaliknya, justru memasukkan gagasan pengetahuan sistematik tentang alam semesta sehingga bisa membuat langkah besar dari generasi ke generasi” (Anti-Duhring, hal.31).

Kritik yang mencela dialektika kadang kala dipertanyakan dengan begitu bersemangat oleh orang-orang yang mempelajari dialektika: “Jadi, di mana sebenarnya kita bisa menemukan risalah dialektika yang paling pokok?” Ketika mereka diarahkan untuk mempelajari karya-karya Marxis terkemuka—Marx, Engels, Mehring, Plekhanov, Lenin, Trotsky, dan sebagainya—mereka terkejut ketakutan dan berteriak: “Buku-buku tersebut tidak lah seperti buku-buku teks sebagaimana yang biasa kami terima di sekolah dan universitas. Gagasan-gagasannya tidak ditabulasi, tidak disebutkan satu demi satu, dan tidak siap pakai. Buku-buku itu penuh dengan polemik mulai dari halaman pertama hingga yang terakhir; polemik tentang problem-problem kongkret dalam berbagai bentuknya; mereka tidak menuliskan hukum-hukum dan kesimpulan-kesimpulannya dengan tatanan yang tetap dan judul yang pasti; seperti para prajurit dalam jajaran angkatan bersenjata. Di satu tempat dan di suatu waktu gagasan tertentu dihadirkan sebagai yang paling unggul, di tempat dan waktu yang lain berbeda lagi. Lalu, julukan apa yang yang pantas diberikan pada perilaku semacam itu?”

Jika memang itu keberatan-keberatannya, maka jawabannya: apa yang kalian temukan dalam tulisan-tulisan Marxis tersebut bukan lah suatu kejutan. Kami bisa memberikan semua buku teks dan risalah tentang dialektika beserta hukum-hukumnya, sebagaimana yang kalian minta. Bahkan Marx sendiri pun berharap, sebagaimana dalam suratnya pada Engels pada tahun 1858: “Jika pun harus ada waktu untuk mengerjakan hal semacam itu lagi, dengan senang hati aku akan membuatnya dalam cara yang mampu diserap oleh akal sehat manusia biasa, yang tercetak dalam dua atau tiga lembar cetakan (yang hakekatnya tak beda dengan 32 atau 48 halaman cetak), yang akan membahas tentang rasionalitas dalam metode yang ditemukan Hegel yang, sebenarnya, pada saat yang sama, terbungkus dalam mistisisme” (Marx-Engels, Selected Correspondence, hal.102). Nilai kegunaan risalah semacam itu tak terkira besarnya bagi orang-orang yang mempelajari dialektika. Karya-karya Engels—Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy dan Anti-Duhring—bisa menyelesaikan tugas yang diharapkan oleh Marx tersebut.

Namun demikian, presentasi sistematis yang ditulis oleh Marx sekalipun belum tentu bisa memuaskan kaum formalis. Mereka haus akan formalisme, akan pengungkapan yang mutlak, final, dan dialektika tak bisa memuaskannya. Menurut dialektika, kebenaran itu selalu kongkret. Itu lah mengapa, sebagai contohnya, dialektika akan selalu menampilkan sesuatu yang terbaik saat menganalisa persoalan-persoalan kongkret dalam bidang pengalaman tertentu; itulah mengapa, secara alami dan tak terhindarkan, dialektika mengasumsikan segala sesuatu dengan karakter yang saling-bertentangan, karakter polemik. Tidak lah mengejutkan bahwa ungkapan sastra terbaik bagi dialektika terdapat dalam dialog-dialog Plato—yang bentuknya kontroversial dan isinya dialektik. Demikian pula halnya dengan Aristoteles, yang terus menerus berpolemik melawan pandangan-pandangan para pendahulunya dan yang ada pada jamannya.

Pemikiran progresif dan revolusioner (dalam ilmu-pengetahuan) secara spontan mengasumsikan, sedikit banyaknya, karakter polemik. Bacalah dialog Galileo sehubungan dengan Dua Sistem Dunia, yang mempertentangkan skema-skema astronomi Copernicus dengan Ptolemeus, yang menyebabkan ia dipenjara. Atau karya Bacon yang berjudul Advancement of Learning, yang menandai era baru dalam pemikiran moderen. “Seluruh isi buku yang kutulis ini merupakan argumentasi yang panjang”, tegas Darwin dalam bagian terakhir karyanya The Origin of Species. Karya-karya yang memeras otak dan mengguncang dunia tersebut berkarkater polemik, dialektik kandungannya, karena mereka mengemban tugas untuk menghancurkan yang lama demi membuka jalan bagi gagasan-gagasan yang baru, atau demi memperbarui kesadaran sosial.

Dalam pidato terkenalnya, On the Essence of Constitutions, yang dicetak ulang pada bulan Januari, 1942, oleh Fourth International, Lassalle menegaskan bahwa konstitusi tertulis negara merupakan ungkapan yuridis konstitusi material struktur sosial yang spesifik, dan konstitusi tersebut bisa berubah seiring dengan peralihan-peralihan dalam hubungan kekuatan-kekuatan kelas. Definisi formal tak akan sanggup menjelaskan asal-usul, perkembangan, dan kehancuran konstitusi negara. Karenanya, kita harus selalu bergerak dengan mengacu pada hubungan-hubungan kelas dan perjuangannya yang nyata ada dalam masyarakat yang, sebenarnya, sepenuhnya, mendasari eksistensi bentuk-bentuk konstitusional, penciptaan, perubahan, dan penghancurannya.

Bukan lah tugas yang besar dalam membuat draft konstitusi tertulis; bisa diselesaikan dalam beberapa hari saja. Pimpinan Bolshevik, Lenin khususnya, pada tahun 1917, menulis konstitusi Republik Soviet dalam waktu yang singkat, seperti sambil lalu saja, namun demikian tetap bertumpu pada kepatuhan untuk mengakomodir kebutuhan perjuangan revolusioner di tahap tertentu. Kaum Bolshevik bukanlah orang-orang formalis. Mereka memahami peran subordinasi semua dokumen formal, menempatkan dinamika perjuangan kelas dan hubungan aktual kekuatan-kekuatan yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang harus diwadahi sebagai problem-problem konstitusional.

‘Konstitusi’ tertulis sebenarnya berkarakter sama dengan logika dialektika. Karena konstitusi merupakan cerminan bentuk dialektika satu momen tertentu, memiliki titik pandang spesifik dan terbatas. Karenanya, kodifikasi semacam itu penting, diperlukan dan berguna, namun tidak lah berarti bisa seenaknya melepaskan kepedulian (secermat-cermatnya) terhadap realitas material dan kekuatan-kekuatan yang berkonflik—sebagaimana dialektika mendasarkan dirinya—yang akan menentukan karakteristiknya dan juga akan menentukan perubahan-perubahan karakteristiknya.

Hubungan yang sebenarnya antara materi dengan bentuk mengasumsikan bahwa keduanya harus diteliti, dipahami, karena keduanya selalu saling bergantung dan saling bereksistensi satu terhadap yang lainnya. Bagi para ahli dialektika materialis, itu lah yang disebut gerak materi—yang kini diekspresikan dalam ilmu-pengetahuan alam sebagai energi massa—gerak materi itu lah yang menentukan, bukan bentuk-bentuk sementara dan khusus, dan gerak materi harus dipandang sebagai gerak materi pada satu tahap tertentu dan dalam formasi khusus yang spesifik. Formalisme adalah sesuatu yang menjijikkan bagi materialisme dialektik.

Ketika aku mendiskusikan dialektika (dan kaitannya dengan persoalan-persoalan lainnya) bersama Kawan Vincent Dunne, ia menegaskan bahwa tuntutan terhadap dialektika—agar memiliki pernyataan yang tegas dan cepat—menyerupai permintaan orang-orang baru dalam gerakan massa; menghararapkan parasmanan instruksi-instruksi yang ketat tentang, misalnya, bagaimana merundingkan sebuah kontrak serikat buruh, bagaimana memimpin sebuah pemogokan, bagaimana mengorganisasir sebuah cabang dan, bahkan, menganjurkan “bagaimana mendapatkan dukungan kawan serta mempengaruhi massa rakyat”. Buku-buku panduan dan arahan semacam itu memang sangat membantu, misalnya saja, bagi orang-orang yang menerima instruksi partai-tingkat-pusat. Akan tetapi, buku-buku tersebut memiliki batasan-batasan inheren tertentu. Buku-buku tersebut tak bisa memberikan apresiasi kongkret terhadap situasi aktual—apresiasi yang didasarkan pada sebuah analisis terhadap seluruh situasi yang kompleks, termasuk hubungan-hubungan kekuatan yang ada dan arah perkembangannya. Karenanya, setiap problem yang berbeda atau khusus memerlukan solusi tertentu yang berbeda pula. Lalu, Apa susunan esensialnya?

Kawan Cannon sering mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan tegas: “intelejensia tak bisa ada gantinya”. Kita bisa mencapai tahap tertinggi intelejensia bila dibimbing oleh metode dialektika materialis. Bagaimana mungkin intelejensia Marxis seperti itu bisa dicapai? Melalui pengalaman dalam gerakan massa, melalui studi, melalui pemikiran kritis, melalui keterlibatan dalam kehidupan dan perjuangan kelas pekerja sehingga gerakan, semangat, dan pikiran massa menjadi mudah dikenal dan diketahui. Yang demikian itu: gerakan sosial yang memberikan cahaya kehidupan bagi dialektika materialis, mengilhami dan mempromosikan perkembangannya melalui perkawinannya dengan realitas kongkret.

Di sepanjang perjuangannya melawan oposisi borjuis kecil, dialektika materialis dituntut memberikan jawaban (kilat dan mencakup segalanya) bagi seluruh bentuk pertanyaan yang abstrak. Lalu, apa yang akan kamu lakukan dan katakan? Jawaban Trotsky bagi orang-orang yang sangat panik tersebut: “Jawaban bagi persoalan-persoalan ‘kongkret’, sebagaimana yang diinginkan oleh kaum oposisionis, hanya lah sekadar resep-resep yang tercantum dalam sebuah buku pintar, yang berisi tentang, misalnya, epik perang imperialis. Aku tak mau menulis buku pintar semacam itu. Namun, saat kita harus memberikan jawaban (bagi persoalan-persoalan fundamental) dengan pendekatan prinsipil, kita akan selalu bisa memberikan solusi yang tepat bagi setiap problem kongkret, serumit apa pun persoalan tersebut.” (In Defence of Marxism, hal.42).

Tak seorang pun bisa menyediakan sebuah buku pintar tentang dialektika. Namun, gagasan-gagasan utama dialektika bisa dikedepankan dengan suatu cara tertentu—sebagai metode yang bisa dipahami dan digunakan untuk mencari jalan keluar bagi problem-problem kongkret. Engels pernah menulis: “Sejak kita menerima teori evolusi, maka semua konsep kita tentang kehidupan organik selalu harus dihubungkan dengan realitas. Yang tak akan berubah lagi: begitu konsep dan realitas sepenuhnya telah berada dalam dunia organik, maka perkembangan selanjutnya akan menuju ke titik akhirnya. Konsep ikan mencakup kehidupan dalam air, namun bisa bernafas melalui insang: bagaimana mungkin kalian bisa memperoleh suatu manfaat dari ikan (saat akan memahami amfibi) tanpa memecahkan konsep ikan tersebut? Nyatanya, konsep tersebut sudah dipecahkan: kini kita bisa mengetahui berbagai macam ikan yang telah mengembangkan kantung-kantung udaranya (sebagai paru-paru) sehingga bisa menghirup udara. Tanpa mempertentangkan satu atau dua konsep dengan realitas, bagaimana mungkin kalian bisa mempelajari reptilia (petelur) hingga binatang menyusui (yang melahirkan keturunannya)? Kenyataannya, lihat saja monotremata, sub-kelas mamalia petelur—pada tahun 1843, saat aku melihat telur platipus di Manchester, aku kemudian mengejek pikiran sempit dan aroganku. Seekor mamalia petelur sekarang justru menjadi kenyataan! Karenanya, jangan lah memperlakukan konsepsi nilai dengan cara sepertiku, hingga akhirnya harus meminta maaf pada seekor platipus!” (Marx-Engels, Selected Correspondence, hal.530).

Hukum dialektika berada dalam kapal yang sama sebagaimana halnya hukum nilai (ekonomi politik)—dan begitu juga dengan hukum-hukum lainnya. Hukum-hukum tersebut memiliki realitas hanya sebagai perkiraan, kecenderungan, dan pukul rata saja. Hukum-hukum tersebut tak bisa dengan segera, secara langsung dan lengkap berada bersamaan dengan realitas. Karena, bila demikian, maka hukum-hukum tersebut tak akan menjadi refleksi, cerminan (konseptual) realitas, tapi akan menjadi realitas obyektif itu sendiri. Walaupun pemikiran dan eksistensi itu saling tergantung, namun keduanya tidak lah identik.

2. Keabsyahan Realitas—dan Keniscayaannya

Logika formal dimulai dengan pertanyaan: apakah sesuatu itu? Sedangkan dialektika dimulai dengan pertanyaan: apakah yang bukan atau selain dari sesuatu itu? Sekarang kami akan mendiskusikan apakah dialektika itu, apakah isi positif yang terkandung di dalamnya.

Hegel berangkat dari filsafat dan logikanya dengan premis: “Semua yang nyata adalah yang rasional.” Walaupun proposisi tersebut jarang dikemukakan dengan kerangka yang cermat, namun proposisi tersebut berguna dalam membimbing semua praktek dan upaya teorisasi yang akan kita lakukan. Saat diri kita diarahkan pada pekerjaan dan kehidupan sehari-hari kita maka, di seputar kita, terdapat begitu banyak landasan fakta material yang memiliki hubungan-hubungan yang seolah-olah telah mapan, terdapat begitu banyak gejala-gejala alam yang seolah-olah teratur, segalanya seolah-olah berubah menurut hukum-hukum yang pasti—segalanya, termasuk hubungan-hubungannya dan kejadian-kejadian yang muncul kembali secara obyektif, seolah-olah memiliki hukum-hukum yang bisa diketahui dan tepat—padahal, seperti yang dikatakan oleh para akademisi: secara rasional, semuanya harus selalu diamati.

Aturan yang sama, dalam kaitannya dengan rasionalitas, berlaku juga dalam wilayah teori. Memang, teori diarahkan oleh rasionalitas. Semua investigasi ilmiah dihasilkan di atas landasan pengertian bahwa segala sesuatu berhubungan satu dengan yang lainnya dalam cara-cara yang pasti, bahwa perubahan-perubahannya memperlihatkan keseragaman yang pasti, keteraturan, dan keabsyahan—karenanya, keterkaitan, transisi (antara yang satu dengan yang lainnya), serta hukum-hukum perkembangannya bisa diketahui dan dijelaskan. Banyak pemikir skeptis dan kaum agamawan yang menolak bahwa dunia yang nyata adalah dunia yang rasional. Sebagaimana juga postulat utama eksistensialisme. Dan, anehnya, banyak filsuf yang menyatakan bahwa realitas itu tidak rasional, dan karenanya tak mampu diketahui oleh pikiran manusia—walau kesimpulan tersebut diperoleh melalui metode-metode yang rasional. Jadinya: walaupun metode prosedur mereka sebenarnya rasional, namun kesimpulannya menjadi irasional, bohong, dan kontradiktif .

Ilmu-pengetahuan logika harus dipelajari sebagai titik berangkat kesatuan antara proses subyektif pemikiran dengan proses dunia eksternal. Alam itu mampu dipikirkan karena, bila tidak, alam akan bertentangan dengan pemikiran. Segala sesuatu, demi kecukupan eksistensinya, membutuhkan kecukupan pemikiran—harapan tersebut bisa dipenuhi, dan hasilnya bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Konsepsi tersebut dirumuskan pada tahun 1646 oleh Leibnitz (ahli logika, matematika dan filsuf terkenal Jerman) sebagai “prinsip pemikiran yang berkecukupan” yang, menurutnya, didasarkan atas: “Kita tahu bahwa tak ada fakta yang dapat diketahui dengan nyata, tak ada proposisi yang benar, tanpa pemikiran yang cukup tentang mengapa sesuatu itu lebih atau berbeda ketimbang yang lainnya.”

Landasan material hukum tersebut: segala sesuatu itu memiliki saling-ketergantungan aktual dan memiliki interaksi timbal-balik di dalamnya. Gambaran-gambaran tentang dunia material tersebut merupakan determinasi konseptual dan ekspresi logis dalam kategori-kategori semacam sebab-akibat, determinisme-kebebasan, dan lain sebagainya. Jika kita mengerti mengapa segala sesuatu, demi kecukupan eksistensinya, membutuhkan kecukupan pemikiran yang diperlukannya, maka akan mengerti lah kita mengapa segala sesuatu itu menjadi ada/berada. Segala sesuatu itu ditekan untuk bereksistensi dan memaksakan caranya sendiri untuk bereksistensi melalui keniscayaan alam. Segala sesuatu itu harus berjuang melawan segala bentuk kekuatan yang menentangnya, dalam rangka menciptakan ruang bagi eksistensi dirinya di dunia nyata. Realitas membuktikan dirinya berdasarkan keniscayaannya. Realitas, rasionalitas, dan keniscayaan, berkaitan erat di segala waktu.

Guna mencerahkan gagasan-gagasan di atas, ambil lah, misalnya, kasus gerakan sosialisme. Sebelum masa Marx, sosialisme adalah utopia, sebuah mimpi usang humanitas, yang tak akan bisa diwujudkan dalam realitas karena prakondisi material yang diperlukannya memang tak ada. Sosialisme, karenanya, tak nyata dan tak diperlukan bagi tahap perkembangan humanitas—irasional, mimpi di siang bolong, dan merupakan penolakan terhadap realitas.

Melalui perkembangan kapitalisme, untuk pertama kalinya, sosialisme memiliki prospek yang nyata sebagai capaian manusia. Marx dan Engels bisa membuktikan hal tersebut setelah berhasil menemukan sosialisme ilmiah. Keduanya berhasil menyingkap bentuk teoritis realitas, rasionalitas, keniscayaan sosialisme dan perjuangan proletariat menuju realisasinya. Namun, perlu dipahami, bahwa hal tersebut paling-tidak merupakan antisipasi teoritis terhadap realitas, bukan sebuah prospek praktek yang mendesak. Sosialisme, pada umumnya, merupakan suatu program dan tujuan yang diperbandingkan dengan realitas sosial kapitalisme.

Namun, dengan berkembangnya gerakan massa proletariat dan perluasan gagasan-gagasan sosialis, sosialisme semakin lama semakin mendekati realitas, keniscayaan, dan rasionalitasnya. Mengapa? Karena, seperti yang ditegaskan oleh Marx dan Engels, gagasan-gagasan akan memperoleh kekuatannya bila massa menerimanya. Lompatan besar idealitas menuju menjadi realitas bisa diwujudkan saat terjadi revolusi Bolshevik, tahun 1917, yang membuat sosialisme jauh lebih nyata ketimbang kapitalisme di atas seperenam permukaan bumi.

Dengan demikian, realitas sosialisme telah terwujudkan melalui pertumbuhan eksistensi material yang semakin lama semakin banyak. Hal itu juga membuktikan rasionalitas keterkaitannya, katakan lah, dengan kebutuhan humanitas yang mendesak lagi nyata dan, terutama, pada bagian yang paling progresif, dengan perkembangan kelas pekerja. Sosialisme membuktikan hasil rasional usaha manusia untuk memperbaiki kondisinya menjadi lebih baik. Hal itu menjadi aktual karena rasional, yakni selaras dengan kecenderungan kemajuan sosial. Sosialisme menjadi rasional karena semakin lama semakin nyata, merupakan kekuatan aktif dalam kehidupan dan perjuangan kemanusiaan. Rasionalitas dan realitasnya bereaksi serta saling-memperkuat satu dengan yang lainnya.

Pada saat dan cara yang bersamaan, saat sosialisme membuktikan rasionalitas dan realitasnya, sosialisme juga membuktikan keniscayaannya. Jika sosialisme tak dibutuhkan, jika kondisi-kondisi yang disyaratkan oleh produksi dan reproduksinya (dengan basis yang diperluas) tak muncul, maka sosialisme tak akan bisa menjadi suatu realitas, sekalipun didorong atau diperbarui dalam jangka waktu yang lama.

Situasi yang sama juga terjadi pada asal-usul dan evolusi spesies: bereksistensi melalui perjuangannya dalam alam organik. Spesies bisa bertahan karena sesuai dengan kondisi-kondisi lingkungannya. Spesies bisa berubah karena keragaman-keragaman dalam spesies yang sama, yang diseleksi oleh alam—sehingga menjadi individualitas yang lebih baik—bersesuaian dengan lingkungan yang berubah dan bahkan dengan penciptaan spesies yang baru. Di situ lah terdapat hubungan yang nyata, masuk akal, dan diperlukan di kalangan spesies tumbuhan, binatang dan lingkungannya, yang menyebabkan spesies itu ada, bertahan, berubah maupun lenyap.

Jikalau segala sesuatu yang aktual itu rasional, itu artinya segala hal di dunia nyata ini memiliki alasan yang cukup untuk eksis dan harus menemukan penjelasan rasionalnya. Semua bentuk kemanusiaan akan menjadi keliru jika mengabaikan eksistensi atau menolak signifikansi rasional beberapa porsi realitasnya. Orang-orang Yunani mengatakan bahwa angka-angka yang berbasis 2 itu ‘irasional’ dan, karenanya, bukanlah angka, sehingga tak perlu diperhatikan. Namun studi dan pengembangan angka-angka ‘irasional’ ternyata melahirkan cabang matematika yang bermanfaat.

Para filsuf Yunani, secara prinsipil, merendahkan nilai praktek sebagai sebuah elemen pengetahuan. Kami, di lain pihak, menempatkan pengetahuan pada landasannya yang sesungguhnya.

Jika tidak karena Freud, para ahli psikologi akan selalu mengabaikan mimpi—kelalaian, kesalahan ucap, akan dianggap sebagai fenomena mental yang remeh dan tak bermakna. Freud menunjukkan bagaimana manusia bisa menyingkapkan operasi terselubung pikiran yang tak sadar.

Seperti juga pengilangan minyak modern yang telah disempurnakan—melalui produk-produk penyulingan dan penggaliannya yang lebih bernilai ketimbang sekadar minyak murni—demikian pula tumpukan sampah warisan sejarah yang tak berharga bisa disempurnakan melalui proses-proses kerja dan berpikir. Menurut Engels, konsepsi materialis (dalam menganalisa sejarah) atau materialisme historis, mendasarkan dirinya pada “fakta sederhana, yang sebelumnya disembunyikan di balik baju ideologis, yakni: bahwa yang pertama-tama harus dipenuhi dalam kehidupan manusia adalah kebutuhan untuk makan, minum, perumahan dan pakaian bagi dirinya, sebelum mereka memberikan perhatian pada politik, ilmu-pengetahuan, seni dan agama…”

Peristiwa-peristiwa yang paling mengerikan dari epik kita—krisis ekonomi, perang sipil, perang imperialis, dan fasisme—kelihatan irasional, luar biasa, dan tak bermakna bagi mentalitas filistin kaum demokrat borjuis kecil. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut bukan saja nyata tapi juga diperlukan oleh mereka—dan karenanya memiliki penjelasannya yang rasional. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan proses-proses yang paling penting dan menentukan dalam kehidupan kontemporer. Peristiwa-peristiwa tersebut mengungkapkan hakekat terdalam bagaimana kapitalisme sedang mengejang-sekarat menerima ajalnya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan manifestasi nyata sistem hubungan sosial yang sangat irasional.

Lebih jauh lagi, apa yang rasional dan dibutuhkan oleh anggota-anggota satu kelas—bagi kelas pekerja: upah yang tinggi karena pajak dan biaya hidupnya yang tinggi—tampak tak masuk akal dan tak dibutuhkan oleh kelas yang menentangnya—pengusaha yang akan terpangkas keuntungannya. Apa yang rasional dari satu sudut pandang sosial yang satu dianggap sebagai puncak absurditas bagi sudut pandang sosial lain yang lain. Namun irasionalitas tersebut memiliki penjelasan rasionalnya, yang nyata: tergantung kepentingan-kepentingan dua kelas yang saling-bertentangan, yang terlibat dalam perjuangan atas pembagian pendapatan nasional.

Gerakan kita, bagi kaum borjuis kecil liberal, begitu tampak tak nyata, begitu tak penting untuk diperhatikan secara serius, bahkan pemerintah yang berkuasa malahan menuntut kita. Mereka ‘mempertahankan’ kita dengan landasan semacam itu. Bagi mereka, kita dilihat sebagai kekuatan signifikan, sebagaimana Stalin, Hitler, Roosevelt—itu karena realitas kita, itu karena kekuatan sosial-politik (laten) yang ada dalam gagasan-gagasan kita. Tuntutan irasional mereka terhadap kaum Trotskis secara rasional juga bisa dijelaskan. Dan akan lebih signifikan lagi bila dorongan revolusioner kaum pekerja dan rakyat yang dijajah (kolonialisme) bisa dimanifestasikan dengan kekuatan yang lebih besar.

Mengapa partai dan gerakan internasional kita bisa eksis? Apa yang sebenarnya sedang terjadi sehingga berbagai individu dari berbagai negeri bisa berada dalam ikatan politik yang kuat dan disatukan oleh disiplin? Itu karena, di bawah kondisi kondisi sosial yang ada saat ini, dan karena eksistensi kita merupakan keniscayaan yang rasional, maka kita lahir dan terus menerus tumbuh semakin kuat. Gerakan Trotskis bukan lah suatu kecelakaan, dan bukan juga kekuatan yang bisa diremehkan. Gerakan kita tercipta untuk memenuhi kebutuhan (kelas pekerja) akan kepemimpinan revolusioner. Kita hadir untuk mengungkapkan kenyataan dan rasionalitas politik kita, sebagai suatu keniscayaan politis.

Itu lah sebabnya mengapa kita harus mempelajari metode dan gagasan kita secara serius. Prinsip-prinsip dan tradisi di atas merupakan patokan untuk menyeleksi kader-kader kita, sesuatu yang penting dan vital bagi eksistensi kita. Itu lah juga mengapa kami mempelajari gagasan-gagasan (yang kami perlakukan secara holistik) dengan begitu seriusnya karena, bagi kita, gagasan-gagasan tersebut secara harfiah merupakan persoalan hidup dan matinya politik. Dan kami telah terlibat dalam berbagai pertempuran mati-matian melawan musuh yang kuat dan tersamar, untuk melindungi, memelihara dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tersebut.

Ketimbang semua gerakan politik yang ada, gerakan politik kita adalah yang paling rasional karena gerakan politik kita, dalam makna historis, merupakan yang paling nyata dan yang paling dibutuhkan. Kita harus rasional agar menjadi nyata. Itu lah juga mengapa kita bisa meletakkan begitu banyak kehidupan ke dalam logika kita, dan bisa meletakkan begitu banyak logika ke dalam kehidupan kita. Keduanya, bagi kita, tak bisa dipisahkan.

Orang-orang berdatangan menghampiriku dan berkata: “Anda membuat logika menjadi begitu hidup.” Tak ada keuntungan personal bagiku karena pujian tersebut. Logika kami, dialektika materialis, dengan sendirinya adalah logika kehidupan. Logika tersebut meluap bersama dengan pergerakan, dengan vitalitas, dengan kekuatan. Saat dipelajari dan diajarkan, logika, bagi profesor kelas borjuis (dan borjuis kecil), seperti bangkai, mati. Karena, memang, yang demikian itu lah logika alam semesta yang statis dan mati. Logika mereka semakin lama semakin tak berkaitan dengan realitas kehidupan sosial dan ilmu-pengetahuan yang ada saat ini. Logika mereka adalah fosil masa lalu yang mati, bukan bagian dari masa kini yang hidup, dan bukan bagian dari masa depan yang kreatif. Sebenarnya, logika yang telah diformalisasikan tersebut kini menjadi demikian tak berguna, begitu sterilnya, sehingga para profesornya merajalela bergerak sedemikian jauh, mengerjakan segalanya sesuka hatinya, dan berkata (seperti ucapan Burnham) bahwa logika hanya memiliki kegunaan yang kecil, atau tak berguna secara praktis, atau tak bisa diterapkan di dunia nyata. Suatu pengakuan jujur: kebangkrutan teoritis. Dengan demikian, realitas, rasionalitas dan kepastian, berjalan beriringan satu dengan yang lainnya.

***

Proposisi tersebut kelihatannya membenarkan segala sesuatu yang eksis, menerima eksistensi segala seuatu sebagaimana adanya. Proposisi tersebut, agar bisa berlaku secara tepat, memang seharusnya lah demikian. Segala sesuatu yang eksis membutuhkan pembenaran teoritis karena fakta yang ada, dilihat dari aktualitasnya, memberikan suatu pengakuan yang valid atas rasionalitas, realitas dan kepastiannya.

Doktrin-doktrin kaum konservatif dan kaum reaksioner yang bersandar pada pemikiran Hegel hanya melihat dari sisi tersebut saja: yakni pembenaran terhadap apa yang eksis. Itu lah sisi konservatif pemikiran Hegel dan juga metode dialektika secara umum bila itu memang pilihan kalian. Pemikiran merupakan elemen yang sangat dibutuhkan oleh semua dialektika, termasuk dialektika materialis. Karena segala sesuatu bisa menjadi eksis dan disimpulkan hanya untuk waktu yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, segala sesuatu yang pernah eksis dalam beberapa tahapan tertentu akan dipelihara namun juga akan dihancurkan oleh apa yang hadir sebelum dan sesudahnya. Yang ada pada masa lalu akan diperlakukan sebagai bahan mentah bagi generasi-generasi yang baru, sebagai bahan mentah bagi pekerjaan dan landasan (jalur tertentu) untuk mempersiapkan masa depan.

Akan tetapi, hal tersebut bukan lah kebenaran akhir pengetahuan kita tentang realitas, hanya merupakan kebijakan awal. Sisi lain realitas dan dialektika yang terkandung di dalamnya akan menjadi tema pelajaran selanjutnya.

Hikmah pelajaran terakhir (yang kita dapatkan) dari dua proposisi Hegel adalah: bahwa kebenaran itu kongret dan, lebih jauh lagi, semua yang riil itu rasional. Dengan sesadar-sadarnya kita mengerti bahwa segala sesuatu itu memiliki eksistensi dan tetap ada dalam segala sesuatu, bukan karena kecelakaan, tetapi sebagai hasil dari kondisi-kondisi yang menentukan dan karena sebab-sebab yang pasti. Terdapat beberapa alur keabsyahan yang bergerak melalui proses-proses realitas dan ditampilkan dalam eksistensi serta keberlanjutan hasil-hasilnya. Dunia nyata memiliki alasan, dan karenanya, secara rasional, direfleksikan dan diterjemahkan dalam pikiran kita.

Dalam diskusi ini kita akan menguji sisi lain proposisi tersebut, tetapi yang mana? Seperti yang akan kita lihat, sisi lain tersebut merupakan sebuah aspek realitas yang tak terpisahkan dari proposisi tersebut. Marilah kita ubah penegasan kita sebelumnya, yakni dalam hal poros dan aspek negatif proposisi tersebut.

Seperti yang sudah kita tegaskan, ukuran kebenaran yang terdapat dalam proposisi tersebut adalah bahwa yang riil itu yang rasional; segala sesuatu memiliki eksistensi dan memiliki ketetapan dalam cara yang absyah dan pasti. Tetapi hal tersebut bukan lah merupakan keseluruhan dan kebenaran akhir segala sesuatu. Kebenaran itu sepihak, relatif dan sementara sifatnya. Kebenaran riil tentang segala sesuatu itu: bahwa segala sesuatu itu tidak hanya eksis, berlanjut, tetapi juga berkembang dan mati. Kematian sesuatu, mengakhiri sesuatu dengan kematian, diungkapkan dengan terminologi logis: ‘negasi’.

Seluruh kebenaran segala sesuatu bisa dibongkar hanya jika kita memperhatikan aspek pertentangan dan aspek negatifnya. Dengan kata lain, jika kita tidak memperhitungkan negasi dari penegasan kita yang pertama maka, sebenarnya, kita sedang memeriksa realitas yang abstrak dan superfisial.

Segala sesuatu itu serba terbatas dan berubah. Segala sesuatu tidak saja memaksakan jalannya tapi juga dipaksa hadir dan mempertahankan dirinya. Segala sesuatu juga berkembang, membelah atau berdisintegrasi, ditendang dari eksistensinya dan, pada akhirnya, menghilang. Dalam kerangka logis, segala sesuatu tak sekadar menegasikan dirinya sendiri. Tampaknya, segala sesuatu juga menegasi dirinya sendiri dan dinegasi oleh sesuatu yang lain. Karena memiliki eksistensi, segala sesuatu bisa berkata kepada realitas dan pemikiran yang mencoba memahaminya: “Ya, aku di sini!” Karena segala sesuatu itu berkembang dan, pada akhirnya, ditendang dari eksistensinya, segala sesuatu akan berkata sebaliknya: “Tidak, aku tak seperti yang dahulu; aku tak bisa menyatakan diriku lagi.” Jika segala sesuatu yang eksis harus keluar dari eksistensinya, dan semua realitas terus menerus menyerbu masuk ke dalam benak kita, maka pemikiran logis kita harus berpendapat: setiap penegasan harus mengungkapkan negasinya. Gerak sesuatu dan gerak pemikiran semacam itu yang disebut sebagai gerakan dialektis.

“Segala sesuatu…pasti menemui ajalnya; dan, dengan demikian, kita memiliki satu persepsi bahwa dialektika merupakan kekuatan yang universal, dan segala sesuatu tak akan bertahan, segala sesuatu tak bisa menetap, seberapa pun aman dan stabilnya segala sesuatu itu menganggap dirinya”, tulis Hegel (Shorter Logic, hal.128).

Kisah Seribu Satu Malam, yang berasal dari Arab, memberikan satu fabel: di awal tahtanya, seorang raja dari Timur bertanya kepada penasehatnya tentang ringkasan dari semua yang telah dipelajarinya, tujuannya untuk mendapatkan kebenaran yang akan ia terapkan pada segala waktu dan di bawah segala kondisi, sebuah kebenaran yang akan menjadi landasan bagi kedigjayaan absolut, sebagaimana yang ia cita-citakan. Akhirnya, di atas ranjang kematian sang raja, penasehatnya memberikan jawaban seperti ini: “Oh, rajaku yang mulia, kebenaran ini (kematian—red.) akan selalu berlaku pada, dan ini juga akan meninggalkan, segala sesuatu.” Jika keadilan ditegakkan, sang raja seharusnya memberikan penghargaan yang besar pada sang penasehatnya karena telah menyingkapkan kepadanya rahasia dialektika. Itu lah kekuatan, kelumpuhan di lihat dari sisi negatif eksistensi, yang selalu muncul, menghancurkan, dan melebihi aspek afirmatif segala sesuatu.

“Kegelisahan yang kuat” ini, sebagaimana disebut Leibnits, adalah kekuatan yang mempercepat tindakan destruktif atas kehidupan—dilihat dari sisi negatifnya—yang terdapat di mana pun selama ia masih beroperasi; dalam pergerakan benda, dalam pertumbuhan eksistensi segala sesuatu yang hidup, dalam perubahan-perubahan substansi, dalam evolusi masyarakat, dan dalam pikiran manusia yang merefleksikan semua proses obyektif tersebut.

Berangkat dari esensi realitas (yang dialektik) tersebut, Hegel menarik kesimpulan yang sangat menentukan pada bagian (tak terpisahkan) aforisme (pepatah)-nya yang terkenal itu: semua yang rasional itu nyata. Tapi, bagi Hegel, semua yang nyata, tanpa pengecualian dan kualifikasi yang selayaknya, memiliki eksistensi. “Eksistensi ada dalam atau sebagian dari penampakan, dan itu hanya lah sebagian dari realitas” (Introduction to Shorter Logic, § 6). Eksistensi secara elemental dan pasti membagi dirinya sendiri, sedangkan berdasarkan pikiran yang menyeledikinya: eksistensi menjadi begitu terbagi ke dalam aspek-aspek pertentangan antara penampakan dan esensi. Persilangan antara penampakan dan esensi tidak lah lebih misterius ketimbang persilangan antara bagian dalam dengan bagian luar sebuah obyek.

Bila bukan sekadar penampakan, lalu apa yang membedakan esensi atau realitas esensial? Suatu materi menjadi benar-benar nyata jika materi itu pasti, jika penampakannya benar-benar berkaitan dengan esensinya, dan jika hanya sepanjang materi itu membuktikan dirinya menjadi pasti. Hegel, seorang idealis yang paling konsisten, berusaha mencari dan mendapatkan sumber kepastian dalam pergerakan pikiran universal—Ide Absolut. Kaum materialis, di lain pihak, mencari dan mendapatkan akar kepastian dalam dunia obyektif, dalam kondisi-kondisi material dan kekuatan-kekuatan yang berkonflik, yang menciptakan, mempertahankan, dan menghancurkan segala sesuatu. Akan tetapi, bila dilihat dari sudut pandang yang benar-benar logis, maupun dari sudut pandang aliran-aliran filsafat, disepakati bahwa terdapat kaitan antara realitas dengan kepastian.

Sesuatu mendapatkan realitasnya karena memang terdapat kondisi-kondisi (yang dibutuhkannya) guna produksi dan reproduksinya, yang beroperasi dan tampil secara obyektif. Atau menjadi (kurang-lebih) nyata bila, dalam perkembangannya, dikaitkan dengan perubahan-perubahan situasi eksternal dan internal. Kesimpulannya menjadi (kurang-lebih) benar sepanjang dan sejauh mana ia berada di bawah kondisi-kondisi yang tersedia. Selanjutnya, bila kondisi-kondisi tersebut berubah, maka ia akan kehilangan kepastian dan realitasnya, ia akan menjadi sekadar penampakan.

Mari lah kita pertimbangkan beberapa ilustrasi proses tersebut—kontradiksi antara esensi dan penampakan, yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk yang berbeda dan diasumsikan oleh problem dalam pergerakannya. Dalam proses produksi tanaman—bibit, tunas, bunga dan buah, semuanya, tanpa pilih kasih, merupakan tahap-tahap dalam bentuk-bentuk eksistensinya. Secara terpisah, perkembangan masing-masing harus dilihat (tanpa pilih kasih) sebagai kenyataan, kepastian, dan tahap-tahap rasional perkembangan tanaman.

Setiap eksistensi digantikan oleh eksistensi lainnya dan, karenanya, menjadi kurang pasti serta tidak nyata. Setiap tahap perwujudan tanaman muncul sebagai sebuah realitas yang, selanjutnya, diubah (oleh perkembangannya) menjadi bukan realitas, atau meniadakan penampakan lamanya. Pergerakan tersebut lah—tritunggal (dalam kasus khusus ini), dari yang bukan realitas menjadi realitas yang, kemudian, kembali lagi ke yang bukan realitas—yang menentukan esensi, pergerakan di balik semua penampakan. Penampakan tidak bisa dimengerti tanpa memahami proses tersebut. Itu lah yang menentukan apakah setiap penampakan dalam alam, masyarakat, dan (bahkan) dalam pikiran manusia itu rasional atau non rasional.

Menurut Engels: Republik Roma itu nyata, demikian juga Kekaisaran Romawi yang menggantikannya. Pada tahun 1789, monarki Prancis telah menjadi demikian tak nyata, sehingga bisa dikatakan seolah-olah telah merampok semua bentuk kepastian, begitu tak rasional, sehingga monarki tersebut memang layak dihancurkan oleh Revolusi (Prancis) yang Agung—Hegel selalu berbicara tentangnya dengan antusiasme yang tinggi. Dalam kasus tersebut, monarki merupakan sesuatu yang tak nyata dan revolusi lah yang nyata. Dengan demikian, bila perkembangan dipertimbangkan, maka semua yang sebelumnya nyata menjadi tak nyata, kehilangan kepastiannya, kehilangan haknya untuk eksis, kehilangan hak rasionalitasnya.

Dan, dalam realitas yang sekarat, hadir lah realitas baru, yang mampu hidup—baik secara damai, yakni jika realitas lama memiliki cukup intelejensia untuk sampai ke kematiannya tanpa suatu perlawanan; maupun dengan kekerasan, yakni jika realitas lama mengadakan perlawanan menentang kepastian baru. Dengan demikian proprosisi Hegelian ditentang oleh dialektika Hegelian itu sendiri. Semua yang nyata dalam lingkup sejarah manusia bisa menjadi irasional dalam proses waktu dan, karenanya, membawa irasionalitas dalam mencapai tujuannya, dicemari irasionalitas. Dan segala sesuatu yang rasional dalam pikiran manusia berjuang untuk menjadi nyata, sebanyaknya apa pun ia berkontradiksi dengan realitas yang muncul atau dengan kondisi-kondisi yang tersedia. Sesuai dengan semua aturan metode pemikiran Hegelian, proposisi rasionalitas segala sesuatu yang nyata menentukan dirinya sendiri menjadi proposisi yang lain. “Semua yang eksis mengabdi pada kematian” (Engels, Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy).

Kapitalisme sekali waktu memang merupakan suatu sistem sosial yang nyata dan dibutuhkan. Kapitalisme menjadi nyata karena berlandaskan kondisi-kondisi sosial yang ada dan dengan pertumbuhan tenaga produktif manusia. Kapitalisme bereksistensi dan berkembang luas ke seluruh dunia, menggulingkan, mensubordinasikan (pada dirinya), atau menggantikan semua hubungan-hubungan sosial lama, menjadi yang lebih nyata, ke dalam barisan kemenangannya. Kapitalisme, dengan demikian, membuktikan kepastiannya, keniscayaannya, dalam praktek historis—dengan menetapkan realitasnya, rasionalitasnya, dan mendesakkan kekuatannya dalam masyarakat.

Ada suatu ukuran kebenaran—dalam bentuk pernyataan—yang begitu menakutkan kaum filistin: “Yang kuat menjadi benar”. Tapi kaum filistin, yang kurang memahami dialektika, tak mengerti bahwa lawan dari proposisi tersebut juga sama benarnya: “Yang benar menjadi kuat”. Pada saat ini, kapitalisme telah sampai di ujung tali gantungannya, atau lebih dari siap untuk digantung. Sistem produksi kuno tersebut begitu tak dibutuhkan lagi, tak nyata, tak rasional di abad ke duapuluh ini, tak seperti di awal kebangkitannya di abad ke limabelas, atau di sepanjang abad ke delapanbelas dan ke sembilanbelas. Sistem tersebut harus dihapuskan atau dinegasikan, jika manusia ingin hidup dan berkembang. Sistem tersebut akan menegasikan dunia melalui suatu kekuatan sosial dalam kapitalisme itu sendiri, yang jauh lebih nyata dan kuat, yang jauh lebih dibutuhkan dan rasional, ketimbang kapitalisme-imperialis: kaum proletariat sosialis dan sekutunya—kaum tertindas di negeri-negeri jajahan (kolonialisme).

Kelas pekerja memiliki alasan historis dan, karenanya, memiliki hak historis. Perjuangan kelas terbukti lebih efektif ketimbang semua kekuatan yang memiliki kebenaran (hanya pada masa lalu)—misalnya, reaksi kaum kapitalis, seandainya pun ia mengakumulasikan seluruh kekuatan masa lalunya. Revolusi Oktober, 1917, membuktikan bahwa alasan dan hak historis tersebut bisa menjadi cukup kuat untuk mengubah kapitalisme. Negasi terhadap kekuasaan kapitalis merupakan penegasan yang paling kuat terhadap kemungkinan dipenuhinya hak-hak sosial dan politik para pekerja (industrial) untuk mengatur dan membangun kembali tatanan sosial.

Dengan demikian, terbukti bahwa negasi bisa bukan merupakan sesuatu yang menghalangi atau menghancurkan diri sendiri. Negasi merupakan penegasan terhadap langkah atau tahap selanjutnya transformasi diri, dan negasi menunjukkan karakter positifnya sebagai negasi dari negasi, yakni: seluruh penegasan baru, yang mengandung bibit negasinya sendiri. Itu lah yang disebut sebagai dialektika perkembangan, kebutuhan untuk mentransformasikan satu proses ke dalam proses yang lainnya.

Untuk mengerti tentang tahap formatif gerakan Trotskis, sangat lah penting dan tepat jika kita selalu berusaha melampirkan kemunduran gerakan Internasional Ketiga, dengan demikian bisa dimengerti bahwa gerakan Trotskis merupakan upaya untuk memperbarui tingkah laku lama gerakan Internasional Ketiga yang tercela dan, selain itu, merupakan upaya untuk memenangkan program Bolshevik Lenin di hadapan massa pekerja revolusioner. Di Jerman, tahun 1933, setelah menyerah pada Hitlerisme, tak ada reaksi dari jajaran partai—dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa proses kemunduran telah mencapai titik kematian. Perubahan kwantitatif telah menghasilkan suatu kwalitas yang baru. Gerakan Internasional Ketiga bukan obatnya—gerakan Internasional Ketiga telah mati. Demikian pula yang terjadi pada Internasional Kedua, ‘mayat busuk’. Internasional Ketiga dikubur Stalin pada tahun 1943.

Karenanya, kebijakan utama kita terhadap Komintern (Komunis Internasional) menjadi tak penting, tak tepat, tak realistis, dan usang. Tahap perkembangan baru menuntut kebijakan baru dan bidang kerja baru yang disesuaikan dengan kondisi yang baru. Kaum Trotskis harus memutus semua ikatannya dengan Internasional Ketiga yang Stalinis, mulai membangun Internasional Keempat yang baru dan sepenuhnya independen. Kita seharusnya bukan untuk memperbarui Internasional Ketiga tapi menggantikannya dengan sebuah organisasi kelas pekerja yang benar-benar revolusioner.

Beberapa orang melihat—dan sebenarnya tetap melihat—adanya kontradiksi (yang tak terpecahkan) dalam tahap-tahap kejadian tersebut. “Bagaimana mungkin, pada satu masa, kalian berniat memperbarui Komintern namun, pada saat lainnya, kalian menyukai kehancurannya?”, demikian kesimpulan mereka. Karena mereka itu sok tahu, mereka menjadi formalistik, tak dialektis baik dalam pemikirannya maupun dalam aktivitas politiknya. Mereka tak mengerti bahwa bila realitas obyektif berubah maka dibutuhkan kebijakan dan strategi baru yang sesuai dengannya—karena memang dibutuhkan dan rasional. Mereka tak mengerti bahwa kebijakan yang berbeda dan, bahkan, bertentangan, bisa dan berlaku untuk mengembangkan salah satu tujuan strategi yang sama. Dalam kerangka logis, mereka tak bisa mengerti bahwa, secara umum, apa yang tampak berbeda bisa menjadi identik. Mereka sekadar berpikir menurut hukum identitas logika formal. Apa yang identik harus selalu/tetap sama, baik dalam penampakan maupun dalam esensinya, tanpa memperhatikan situasi. Tetapi dialektika mengajarkan: apa yang identik juga bisa dan, bahkan, harus berubah.

Problem yang sama juga muncul pada setiap tahap baru perkembangan gerakan kita. Setiap tahap merubah taktik politik kita, yang merupakan suatu keharusan karena adanya perubahan kondisi gerakan buruh radikal, yang telah mengerti makna peperangan antara penganut logika formal dan penganut dialektika. Pada tahun 1934, ketika terjadi penggabungan dengan Partai Buruh Amerika, kaum Oehlerite yang sektarian, pada kenyataannya, menentang penggabungan tersebut, dan berusaha meletakkan kerangka formal untuk menghalangi kaum sentris Musteite, yang juga berusaha mencegah perkawinan indah antara dua kelompok politik berbeda. Gagal dalam mencampuradukkan formalismenya dengan kebutuhan membangun sebuah partai revolusioner di negeri ini, mereka kemudian memisahkan diri.

Di tahun 1935, proposal untuk melebur ke dalam Partai Sosialis memunculkan penentangan dari kaum formalis yang ingin memelihara bentuk organisasi partai yang sudah ada, tanpa memperhatikan kebutuhan politik mendesak dalam proses pembangunan partai proletariat. Mereka berpikir bahwa partai kita telah mencapai struktur organisasional yang sempurna, padahal partai kita sesungguhnya baru dalam tahap pembangunan. Hengkangnya kita dari Partai Sosialis sebaliknya juga memunculkan penentangan dari kaum formalis lainnya, yang mulai mengakomodasikan diri mereka untuk hidup bersama dengan lingkungan kaum sentris, walaupun keharusan politik menunjukkan bahwa perjuangan bersama dengan kaum sentrisme bisa dijalankan hingga ke tujuannya. Tidak lah penting untuk diingat-ingat, dan tak perlu juga heran bahwa, kemudian, beberapa individu yang sama, yang menentang masuknya kita ke dalam partai Sosialis, adalah orang-orang yang paling malas untuk hengkang dari partai sosialis (Martin Abern). Semakin banyak perubahan terjadi, semakin saja formalisme dianggap benar bagi dan oleh dirinya sendiri—karena realitas telah mereka palsukan.

Semua tindakan yang berbeda tersebut yang, oleh kaum formalis dan sektarian, dianggap begitu kontradiktif satu dengan yang lainnya, sesungguhnya merupakan tahap-tahap yang penting dan rasional dalam proses dialektis penggabungan kekuatan-kekuatan kita. Rumusan-rumusan taktik, sebagaimana semua rumusan, harus menyesuaikan dirinya pada bidang yang berbeda, yakni: arus kejadian yang nyata.

Bisa saja kami mengutip berbagai contoh perubahan-perubahan dialektis dalam sejarah partai kami: perubahan terhadap program transisional, perubahan sikap terhadap pembentukan Partai Buruh dan sebagainya. Dengan caranya sendiri, semuanya menegaskan kebenaran dialektika—itu karena semua perkembangan nyata memang bergerak dengan cara yang bertentangan, dengan berlandaskan pada konflik kekuatan-kekuatan (yang eksis) yang saling-bertentangan. Tak satu pun yang mapan tak berubah, atau selesai secara absolut. Segala sesuatu menghilang dalam perkembangan. Kepastian berubah menjadi kurang pasti, atau kemungkinannya berkurang atau kurang memiliki kesempatan; realitas berubah menjadi tak nyata, atau penampakannya berubah; rasionalitas menjadi irasionalitas, kebenaran pada saat yang lalu menjadi setengah benar pada saat sekarang, atau menjadi salah pada saat yang akan datang dan, akhirnya, menjadi kesimpulan yang usang.

Hegel menjeneralisasi gambaran mendasar kenyataan tersebut sebagai hukum logis: bahwa segala sesuatu yang pasti, nyata, dan masuk akal, bisa berubah menjadi sebaliknya selama berada di dalam area lingkungan yang isinya saling mempengaruhi. Menurut hukum-hukum logika formal, hal itu tak mungkin, tak logis, absur, karena mengandung kontradiksi dalam dirinya. Dalam logika formal, kontradiksi, khususrnya kontradiksi diri dalam realitas, adalah tak mungkin, dan tak disyahkan dalam pemikiran.

Setelah Hegel memperkenalkan dialektika, maka hukum logika formal bisa ia koyak-koyak, ia merevolusionerkan ilmu-pengetahuan logika. Meski Hegel pun menyingkirkan kontradiksi dari realitas dan logika, namun ia menjadikannya batu pijakan bagi konsepsi tentang realitas dan sistem logika. Seluruh struktur logika Hegel dihasilkan berdasarkan proposisi identitas, kesatuan dan saling interpenetrasi dari hal-hal yang saling-bertentangan. Sesuatu itu bukan lah sekadar dirinya sendiri tapi juga bisa bukan dirinya. A bukan lah sekadar setara dengan A; tapi juga lebih setara dengan yang non A.

Pencapaian Aristoteles yang agung dan luar biasa—yang tak melepaskan penghargaannya terhadap penemuan para pendahulu Yunani, yang mengakui bahwa A setara dengan A—adalah menjadikan hukum identitas tersebut sebagai landasan bagi penjelasan sistematik ilmu-pengetahuan logika, dan itu tak lebih merupakan upaya untuk membuat epik dalam mensistematisasikan penemuannya; demikian pula yang Hegel lakukan—yang mengakui bahwa A tidak sekadar setara dengan A tapi juga bisa setara dengan yang non A—ia menjadikan hukum identitas, kesatuan dan interpenetrasi dari hal-hal yang saling-bertentangan sebagai basis sistem logika dialektikanya.

Hukum kesatuan dari hal hal yang saling-bertentangan, yang begitu membingungkan dan menakutkan bagi para pecandu logika formal, bisa dengan mudah dipahami tidak saja saat diterapkan pada proses perkembangan aktual dan saling keterkaitan antara berbagai kejadian, tapi juga saat dipertentangkan dengan hukum formal identitas. Memang benar, secara logis, bahwa A setara dengan A; bahwa John adalah John, dan bahwa lima ditambah satu setara dengan enam. Tapi, akan menjadi jauh lebih benar bila A juga setara dengan yang non A; bahwa John bukan lah sekedar John: John adalah seorang manusia. Proposisi yang tepat tersebut bukan lah sebuah penegasan terhadap identitas abstrak tapi sebuah identifikasi dari hal hal yang bertentangan. Kategori logis atau kelas material—manusia—dengan nama John adalah salah seorang manusia yang sama, namun ia bukan sekadar John, ia adalah individu. Manusia, pada saat yang bersamaan, identik dengan yang berbeda dari John.

Logika formal mengabaikan pertentangan, mengabaikan kontradiksi—realitas Indian Amerika sekadar dilihat sebagai balas dendam mereka atas minyak bumi di masa lalu; realitas totalitarian sekadar dilihat sebagai balas dendam terhadap demokrasi. Logika formal mengabaikannya, membuangnya ke keranjang sampah. Hegel memulihkan kembali permata tersebut, memotong dan mengasah perwajahannya dan, dengan demikian, menghaturkan sumbangan besar bagi logika. Ia bisa menunjukkan bahwa pertentangan dan kontradiksi, sekalipun tanpa makna dan tanpa nilai, merupakan faktor-faktor yang penting dalam alam, masyarakat dan pemikiran. Hanya dengan menggenggam kuat prinsip tersebut maka seseorang bisa menangkap getarannya, kekuatan motif yang ada dalam realitas, dalam kehidupan—itu lah landasan logikanya Hegel.

“Ketimbang kita berbicara tentang perumpamaan hukum tiada jalan tengah (the law of excluded middle)—harus disadari bahwa perumpamaan itu merupakan pemahaman abstrak—lebih baik kita lebih mengatakan: segala sesuatu itu bertentangan. Apakah itu di surga maupun di bumi, apakah itu di alam pikiran maupun di alam itu sendiri, karenanya tak terdapat, di mana pun, semacam abstraksi ‘yang baik’; atau tak ada kebenaran, yang masuk akal, terus menerus bisa dipertahankan/dipelihara. Semuanya kongkret, dengan pembedaan dan pertentangan dalam dirinya. Keterbatasan ketetapan, kepastian, segala sesuatu terletak dalam keinginannya untuk saling berkaitan di antara berbagai keberadaannya saat ini, sekarang ini, dan semuanya jelas-jelas ditampakkan oleh segala sesuatu itu sendiri”. (Introduction to Shorter Logic, hal. 119).

Sebagai contohnya, bisa diperhatikan dua proposisi yang telah kita analisa. Yang kedua, proposisi ‘semua yang rasional itu nyata’ merupakan penentangan terhadap yang pertama dan, pada kenyataannya, memang bertentangan: ‘semua yang nyata itu rasional’. Hegel sama sekali tak terganggu oleh kontradiksi tersebut. Sebaliknya, sebagai seorang akhli dialektika, ia mengerti betul bahwa kontradiksi tersebut merupakan suatu petunjuk untuk memahami esensi atau intisari realitas. Ia memahami bahwa hal tersebut merupakan suatu kontradiksi murni, yang harus diterima dan harus berjalan seiring dengannya, karena baik oposisi maupun kontradiksi sesungguhnya nyata dan rasional. Kontradiksi khusus mengungkapkan hakekat inheren segala sesuatu, yang bisa muncul karena memang demikian lah karakter kontradiktif realitas itu sendiri.

Akhli logika formal meletakkan hukum identitasnya dengan cara yang sama sebagaimana monarki absolut meletakkan hukum pada subyeknya. Ini lah hukum; jangan berani melanggarnya. Sama halnya dengan subyek-subyek yang selalu memberontak melawan absolutisme politik maka, demikian juga, kekuatan-kekuatan realitas akan selalu resah hingga, akhirnya, melanggar hukum-hukum logika formal. Proses-proses alam, dalam perkembangannya, selalu mengkontradiksikan dirinya sendiri. Tunas menegasikan bibit, bunga menegasikan tunas, buah menegasikan bunga. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat. Kapitalisme menegasikan feodalisme; sosialisme menegasikan kapitalisme. “Kontradiksi, di atas segalanya, adalah yang menggerakkan dunia dan sungguh tak masuk akal mengatakan bahwa kontradiksi itu tak terpikirkan. Poin yang tepat dalam pernyataan tersebut: kontradiksi bukan lah akhir dari sesuatu tapi sedang menunda dirinya sendiri.” (Introduction to Shorter Logic, hal.119) Bunga yang menegasikan tunas dan, dengan sendirinya, dinegasikan oleh buah. Kapitalisme menggulingkan feodalisme dan, dengan sendirinya, digulingkan oleh sosialisme. Proses tersebut dikenal dalam logika sebagai hukum negasi dari negasi.

Dalam gerak dialektik tersebut, dalam bagian yang muncul dan menjadi bertentangan, terletak rahasia gerak segala sesuatu yang nyata. Karenanya, di situ terletak juga tempat bersemainya metode logika dialektika, yang merupakan penerjemahan konseptual yang tepat terhadap proses-proses perkembangan dalam realitas. Dialektika merupakan logika bagi materi yang bergerak, atau logika kontradiksi, karena perkembangan dalam dirinya mengandung kontradiksi yang melekat dalam dirinya (inheren). Dalam dirinya, segala sesuatu mengandung kekuatan yang mengarah pada negasinya, dan ketiadaannya berlanjut menjadi bentuk keberadaan yang lebih tinggi.

“Di mana pun terdapat pergerakan, di mana pun terdapat kehidupan, di mana pun segala sesuatu yang beroperasi mempengaruhi dunia aktual, maka di situ lah dialektika bekerja. Dialektika juga merupakan jiwa seluruh pengetahuan yang benar-benar ilmiah. Cara pandang umum memahami sesuatu: penolakan untuk patuh terhadap segala bentuk abstrak pemahaman hanya berlaku bila diterapkan pada hukum. Sebagaimana pepatah berkata: hidup dan biar lah hidup. Tiap-tiapnya harus berubah; kita menghargai yang satu tapi juga menghargai yang lain.

Namun, saat kita melihat lebih dekat, kita menemukan keterbatasan dari yang terbatas (sebagaimana juga yang tak terbatas—G.N.), yang tak sekadar hadir dari ketiadaan; (dalam setiap kasus, dan dengan caranya sendiri) hakekatnya sendiri lah yang merupakan penyebab dari ketiadaannya dan, dengan caranya sendiri, bergerak menjadi lawannya. Sebagai contoh, katakan lah bahwa manusia itu tak abadi dan, yang terpikir, bahwa dasar atau sebab kematiannya adalah hanya dari lingkungan eksternalnya; jika cara pandang tersebut dianggap benar maka manusia memiliki dua kepemilikan khusus: kehidupan dan kematian. Namun pandangan yang benar dalam memahami materi adalah: kehidupan, sebagaimana yang hidup, mengandung bibit-bibit kematian, dan keterbatasan tersebut berperang dalam dirinya sendiri, menyebabkan penghancuran dirinya sendiri.” (Introduction to Shorter Logic, hal. 81). Selain itu, Locke juga mengungkapkan gagasan yang sama saat ia menyatakan: bahwa segala sesuatu yang eksis berada dalam proses ‘terus menerus membusuk’.

Aktivitas dialektik tersebut universal kadar jeneralitasnya. Tak ada tandingan terhadap cakupannya, yang tak kunjung padam dan berkesinambungan. “Dialektika mengungkapkan sesuatu yang bisa dirasakan dalam setiap tingkat kesadaran dan dalam pengalaman umum. Segala sesuatu yang melingkupi kita bisa dipandang sebagai bagian dari dialektika. Kita menyadari bahwa segala sesuatu yang terbatas—selain itu, yang menjadi tidak fleksibel dan berakhir—merupakan yang lebih mampu diubah, mengalir, dan itu lah setepatnya yang kami maksudkan dengan dialektika dari yang terbatas—yang secara implisit dipaksa menyerahkan keberadaannya yang nyata, sehingga seketika berubah menjadi lawannya” (Introduction to Shorter Logic, hal. 81)

Kaum sipil adalah lawan dari tentara. Namun, wajib militer mengajarkan kepada banyak kaum sipil bahwa statusnya sebagai sipil ‘tidak lah tak fleksibel, bisa berakhir, mampu berubah dan sementara’; eksistensinya dalam status sedang menggeliat dan konvensional, tiba-tiba berubah menjadi lawannya. Itu lah yang disebut transformasi dialektik di area yang sama—manusia bahkan, lebih dari itu, bisa sadar bahwa perang tersebut memiliki karakter imperialis dan, walaupun individu diabaikan, karakter dialektik proses tersebut tak akan berubah.

Dialektika merupakan sisi revolusioner Doktrin Hegel

“Apa pun sisi lemahnya, di situ lah tepatnya terletak signifikansi yang benar dan karakter revolusioner filsafat Hegelian… Itu merupakan penyempurnaan (pertama kalinya) terhadap semua produk pikiran dan tindakan manusia, karenanya, yang sebelum-sebelumnya menjelang kehancurannya. Kebenaran, kognisi, yang merupakan bisnis filsafat, di tangan Hegel menjadi tak lebih dari sebuah agregat atau berlama-lama lagi menjadi sebuah agregat—atau kini menjadi pernyataan dogmatik yang tuntas, sehingga orang bisa melakukan studi dengan sesungguh-sungguhnya. Sekarang, kebenaran terletak dalam proses kognisi itu sendiri, dalam perkembangan ilmu-pengetahuan, yang ditinjau secara historis, yang bergerak memuncak dari tingkatan ilmu-pengetahuan yang paling bawah hingga ke tingkatan yang lebih tinggi tanpa pernah bisa menggapai apa yang disebut kebenaran absolut. Itu lah poin di mana kebenaran tak bisa dihasilkan tanpa lebih jauh lagi, tak akan ada lagi yang bisa atau harus dikerjakan kecuali mengekang tangan, menahan diri, atau sekadar menghargai kebenaran absolut yang telah dicapai.

Apapun yang bisa memelihara kebenaran alam pengetahuan filosofis, juga bisa memelihara kebenaran segala bentuk pengetahuan dan hal-hal praktis. Sebagaimana juga pengetahuan, yang tak akan mampu mencapai garis pengehentian yang sempurna (dalam suatu kondisi humanitas yang sempurna, ideal), demikian juga dengan sejarah; sebuah masyarakat yang sempurna, dengan ‘bentuknya’ yang sempurna, hanya lah hal-hal yang sekadar bisa eksis dalam imajinasi. Sebaliknya, seluruh situasi sejarah yang bergunta-ganti hanya lah merupakan tahap-tahap peralihan perkembangan masyarakat manusia, yang tanpa akhir, dari yang tahapan paling rendah menuju ke tahapan yang paling tinggi.

Setiap tahap memang dibutuhkan karena memang dibenarkan oleh waktu dan kondisi, dan setiap tahap memiliki asal-usulnya sendiri. Tapi, dalam kondisi-kondisi baru dan lebih tinggi—yang berkembang dalam rahimnya sendiri—setiap tahapan kehilangan validitas dan justifikasinya. Setiap tahap harus memberikan jalan bagi satu bentuk (tahap) yang lebih tinggi—yang juga akan mengalami kehancuran, melenyap. Sebagaimana juga yang akan menimpa kaum borjuis pemilik industri skala besar, kompetisi dan pasar dunia, dalam prakteknya, akan menghancurkan semua stabilitas pranata-pranata (berpengalaman) lama; pandangan dialektik pun demikian: mewajarkan kehancuran segala konsepsi atau kebenaran absolut dan, demikian juga, mewajarkan kehancuran bentuk absolut kemanusiaan yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Karenanya, tak ada yang final, absolut, dan sakral. Dialektika bisa membongkar adanya karakter peralihan dari sesuatu dan dalam sesuatu, tak ada yang bisa mendorongnya kecuali proses berkelanjutan untuk menjadi dan menghilang, atau perkembangan tanpa akhir dari tahapan yang rendah menuju ke tahapan yang lebih tinggi.

Dan pandangan dialektik sendiri tak lebih dari sekadar refleksi proses otak yang berpikir. Hal itu, tentunya, juga merupakan sisi yang konservatif: pandangan tersebut mengakui bahwa tahap-tahap pasti ilmu-pengetahuan dan masyarakat dibenarkan oleh waktu dan lingkungannya, walaupun hanya dalam batasan-batasan tertentu. Konservatisme cara pandang tersebut, memang, relatif; yang absolut adalah karakter revolusionernya—itu lah satu-satunya keabsolutan yang harus diakui.” (Engels, Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy).

***

Dia yang Terbaik pada Zamannya

Kemeriahan terangkai dalam kegiatan karitatif tahunan di pemukiman padat penduduk maupun sekolah-sekolah setiap tanggal 21 april. Perkumpulan2 perempuan, baik itu PKK, Dharma Wanita maupun organisasi perempuan modern berkompetisi meramaikan perayaan hari Ulang tahun perempuan yang dikenal sebagai Ibu dari seluruh anak Indonesia, begitulah Kartini diperkenalkan kepada setiap generasi sejak tahun 1964. Melalui buku-buku sejarah dan lagu karangan Ismail Marzuki, kartini dicitrakan sebagai sosok perempuan sejati Indonesia dan simbol emansipasi perempuan. Emansipasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh bangsa Indonesia melalui kegiatan kreasi masakan dan sanggul antar RT, pemakaian kebaya oleh seluruh remaja putri disekolah maupun pembacaan puisi serta seminar di kalangan intelektual Indonesia. Itukah wujud emansipasi yang diusung oleh Kartini dalam pingitannya sebagai perempuan priyayi pribumi hindia belanda?

Kesadaran dari Humanisme Liberal
Kartini lahir dan dibesarkan dalam lingkungan feodal priyayi pribumi dari ayah seorang asisten wedana onder distrik mayong kabupaten jepara dan ibunya seorang anak dari kepala mandor pabrik gula. Kartini tidak pernah bertemu Ibunya. Ia dibesarkan dalam lingkungan poligami yang sarat dengan intrik, kecemburuan dan diskriminasi. Tidak ada catatan sejarah yang jelas mengenai Ibu kandungnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kesadaran sosial feodalisme pribumi yang memandang perkawinan pria bangsawan dengan perempuan kalangan jelata merupakan peristiwa yang mengotori darah ningrat, sebagai tabir yang enggan disibak

Sebagai perempuan dari seorang Bupati, kartini memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan oleh perempuan jelata lainnya. Ia bersyukur mendapat kesempatan untuk menikmati terang ilmu pengetahuan di sekolah belanda, setidaknya itulah yang terungkap dalam salah satu suratnya :
“pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari…” [1]
Kehidupannya di sekolah rendahan belanda menjadi tapak awal bagi kesadaran kritis Kartini muda. Diskriminasi rasial yang lazim terjadi di bangsa jajahan menjadi makanan sehari-hari bagi kartini di lingkungan sekolah.
“orang-orang belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami…” [2]

Perlu dicatat bahwa kepedulian kartini terhadap bangsa, khususnya terhadap kaum perempuan tidak hadir tanpa pijakan. Melalui keunggulan dalam menguasai bahasa belanda, kartini mendapat kesempatan yang tidak dimiliki perempuan pada zamannya untuk melahap buku-buku eropa, yang kemudian berkontribusi terhadap perkembangan pemikirannya. Beberapa karya yang paling berpengaruh dalam perputaran hidup Kartini antara lain Max havelaar dan Minnebrieven. Pengetahuannya tentang penderitaan pribumi di hindia belanda justru ia dapatkan dari karya agung Multatuli tersebut. Ini dapat dipahami mengingat pingitan keras terhadap perempuan, sebagaimana juga yang dialami oleh Kartini, membuatnya hampir mustahil untuk dapat bercengkrama, apalagi berkelana diluar lingkungan kastil agung priyayi.

Karya lain yang menjadi bekal perjuangan kartini adalah Moderne Maagden atau perawan-perawan Modern karya Marcel Prevost, seorang pengarang roman dan drama yang mengagungkan tentang keadilan. Dari buku inilah, pemikiran tentang emansipasi perempuan kartini dapatkan, juga kekagumannya terhadap buku Die Wapen Nieder karya Berthan Von Suttner, karya yang bersumbangsih bagi perjuangan perdamaian dunia.[3]

Kausalitas sejarah dan realitas telah melahirkan situs-situs peristiwa yang memaksa Kartini untuk menjaring generik situasi bangsa Hindia. Kartini menyadari lemah posisinya sebagai pribumi di bawah jajahan koloni. Dia menyadari penjajahan saudara dari bangsawan pribumi terhadap rakyat jelata, dan yang kemudian menjadi penting dalam sosok kartini adalah kesadaran mengenai ketidak berdayaan perempuan di lingkungan penjajahan, yang berkelindan dengan kesadaran sosial feodal. Ketika perjuangan gerakan Susan B. Anthony dan Elizabeth C. Saton melahirkan gelombang perlawanan perempuan di Amerika, Kartini berduka terbenam dalam ketidakberdayaan diri dan bangsanya. Gema kebangkitan gelombang gerakan demokrasi pemilihan di bidang politik dan pendidikan yang setara bagi kaum perempuan secara tidak langsung menjadi bahan renungan bagi kartini, bahwa ia tidak bisa diam karena dia terlanjur tahu. Dia terlanjur tahu duka bangsa terjajah, dia terlanjur tahu penderitaan subordinat kaum perempuan. dan sebagaimana kampanye yang ditiupkan dari dunia barat, maka ia memulai dengan Pendidikan.

“aku ingin dapat pergunakan bahasa belanda, dengan sempurna menguasainya, sehingga aku dapat mempergunakannya sebagaimana aku kehendaki, dan kemudian aku akan berusaha dengan alat-alat penaku menarik perhatian mereka, yang dapat membantu usaha kami untuk mendatangkan perbaikan bagi nasib wanita jawa…kami akan goncangkan dia bunda, dengan seluruh kekuatan kami…dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia”[4]

Dalam ketidakberdayaan, ia memulai dengan kemampuannya. kartini mengetahui dengan jelas bahwa perjuangannya tidak memiliki titik hantam tanpa keterlibatan sebanyak-banyaknya kaum perempuan. Untuk meningkatkan partisipasi maka perempuan harus berpengetahuan. Bagi kartini, Pendidikan merupakan sokoguru bagi sebuah bangsa, perempuan adalah tiang penyangga, maka perempuan harus berpendidikan. kelahiran selalu dimulai dari rahim seorang perempuan dan dari dia pulalah manusia pertama kali menerima didikan.

“ perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan : bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia…dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata… dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”[5]

Kartini memang terbaik pada zamannya. Dia melambangkan kebangkitan dari kaum perempuan yang tertidur di atas pijakan konservatisme feodal. Menjadi dapat dimaklumi ketika Kartini memulainya dengan Pendidikan atas landasan keterasingan kaum perempuan dalam produksi kehidupan sosial, maka tereliminasi pula hak-hak pribadinya. Kartini memang pantas untuk dinobatkan sebagai pelopor, pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Perjuangan kartini melambangkan kesadaran dari fondasi zamannya, yang tentunya akan menjadi berbeda dengan landasan sosial ekonomi saat ini. Konsekuensi logisnya adalah menyangkut landasan bergerak dari analisas sosial ekonomi yang berbeda dengan strategi perjuangan yang berbeda pula.

Perjuangan Perempuan dalam Zamannya
Gerak perlawanan massa selalu dimulai dari landasan status situasi. Begitulah kita diajarkan oleh sejarah. Termasuk di dalamnya adalah kebangkitan gerakan perempuan pada awal abad ke 19, yang kemudian menjalar bagaikan jamur ke setiap bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Landasan status situasi berada dalam elemen eksistensi dirinya dalam rupa ketimpangan sosial, berlandaskan kelas. Tidak hanya selesai pada titik itu, di dalam setiap ketimpangan sosial, simultan ketimpangan berlandaskan gender ada di dalamnya, baik yang berada di dalam eksistensi yang terstruktur maupun tidak terstruktur, maka dia dinamakan budaya. Mari kita belajar dari beberapa catatan sejarah tentang kebangkitan maupun keterlibatan perempuan.

Revolusi Perancis 1871, eksperimen presentasi murni massa rakyat diperancis bermula dari kaum perempuan. Percobaan serangan gerilya tentara “pertahanan nasional” Thiers terhadap Garda Nasional—pasukan tentara bentukan rakyat— pada tanggal 18 Maret 1871 mengalami kegagalan karena ratusan ibu-ibu warga sekitar mengerumuni artileri garda nasional yang akan diambilalih dan memprotes tindakan tentara Thiers. Keributan yang terjadi memicu kedatangan pasukan garda nasional dan warga lainnya. Kegagalan pelucutan senjata warga oleh tentara “Pertahanan Nasional” membuat Thiers ketakutan dan melarikan diri ke Versailles, kehancuran dari eksistensi terstruktur. Kekuasaan diambil alih dan Paris berada sepenuhnya di tangan proletariat. Di Rusia, tuntutan pada hari minggu terkahir pada bulan Februari 1917 para perempuan terhadap “roti dan perdamaian” menjadi pioner kekuatan yang menurunkan pemerintahan tsar 4 hari kemudian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peluang struktur politik bagi kebangkitan perempuan justru dilahirkan oleh pemerintahan anti rakyat serta pengabaian (baca : peremehan) terhadap peran perempuan. Pemandangannya yang ganjil di Brazil ketika perayaan Hari Perempuan Internasional diizinkan untuk digelar oleh kekuasaan otoriter Ernesto Geisel. Jangan berpikir kalau pemerintah otoriter mampu dan mau berpikir tentang pembebasan perempuan. Keberhasilan itu di dapatkan dari penilaian terhadap peran kaum perempuan yang apolitis dan tidak berbahaya. Pemerintahan Ernesto Geisel harus menelan pil pahit dari penilaian itu. Kesempatan perempuan untuk melakukan mobilisasi massa inilah yang kemudian memberikan ruang bagi konsolidasi gerakan oposisi dalam menumbangkan Rezim Geisel.

Perlawanan perempuan setiap belahan dunia menampilkan keterkaitan antara landasan ekonomi politik dengan bangkitnya perlawanan perempuan, dengan tujuan dan capaian yang berkesesuaian dengan hukum perkembangan sejarah. Begitu juga seharusnya kita memahami kelebihan sekaligus keterbatasan Kartini dalam perjuangannya. Sebagai simbol kebangkitan perempuan Indonesia, Kartini memang jauh dari menyentuh akar persoalan perempuan. Bekal gerakannya berdiri pada Humanisme dengan pandangan berkesempatan yang berperikemanusiaan bagi perempuan. Pendidikan menjadi perwakilan kebenaran, kemajuan peradaban, maka dia akan menjadi senjata yang sebaik-baiknya untuk mendamaikan dunia. Tidak ada yang salah dengan pandangan itu, hanya saja gerak strateginya yang Humanis tanpa menyentuh esensi penindasan menjadi terkesan utopis.

Namun demikianlah yang dititipkan situasi padanya. Kartini hidup dalam lingkungan feodal priyayi dengan kekuatan pasung terhadap perempuan yang luar biasa. Kondisi perempuan kalangan bangsawan dapat kita dalami dalam ungkapan tulisan Sriati Mangoenkoesoemo :
“Betapa menggairahkan keadaannya (= wanita desa itu) dibandingkan dengan wanita dari golongan atas. Betapa lebih menggairahkan hubungannya dengan suaminya dan keluarganya. Mereka berbagi kesukaan…pada merekalah para suami mula-mula datang kalau memerlukan nasihat bagaimana pajak harus dibayar. Bersama-sama mereka berbagi suka dan duka yang diberikan kepada mereka oleh hidup ini ”[6]

Tulisan diatas tidak sedang memberikan pemahaman kepada kita bahwa kehidupan perempuan jelata lebih baik. Penindasan terhadap perempuan bersifat universal, dia menimpa semua entitas yang bernama perempuan, dengan kadar kualitas dan rupa yang berbeda-beda. Demikian pula penindasan yang menimpa perempuan jelata dan bangsawan pada zaman itu. “Kesucian” kasta ningrat menjadi jeratan karena dialah yang akan menjadi causa prima pesakitan dari setiap masalah. Dalam lingkungan seperti inilah Kartini berkapitulasi, namun bagaimanapun juga dia telah memulai. Setidaknya nyata bahwa pendidikan-lah yang dibutuhkan oleh perempuan pada zamannya, sesuatu yang menjadi landasan taktis perempuan untuk setara.

Degradasi Makna Perjuangan Kartini
Bagi mereka yang membenci gerakan massa maka berterimakasihlah pada Soeharto. Diktator ulung inilah yang telah menjaring perangkap besar bagi seluruh rakyat miskin Indonesia dalam jebakan utang dan kemesraan mental bangsa terjajah. Jangan bilang dia diktator kalau gerakan sipil tidak dia hancurkan. Segera setelah naik ke pangkuan singgasana, Soeharto dan para pendukungnya melakukan pembersihan secara besar-besaran terhadap angkatan bersenjata dan administrasi sipil orde lama. Semua yang bernuansa orde lama tersingkir dengan digantikan oleh hiasan-hiasan orde baru. Hiasan yang dirangkai dari darah dan tulang jutaan rakyat tidak bersalah.

Paranoid orde baru menjadikan demokrasi mati suri. Aliansi segitiga antara angkatan darat, mahasiswa angkatan 66 dan teknorat segera menjadi pijar bagi orde baru. Angkatan darat sebagai senjata “pengawas” sipil, teknorat sebagai intelegensia corong liberalisme ekonomi pengganti berdikari dan mahasiswa sebagai resi dengan mitologi tanggung jawab moral masyarakat secara organik, dengan sesekali dikonfigurasi untuk menjadi kekuatan penekan tunggal, cerminan puing-puing demokrasi orde baru. Sebuah legitimasi sekaligus delegitimasi terhadap gerakan massa mengatasnamakan kestabilan sosial.[7]

Belajar dari kekhilafan brazil yang mengabaikan kekuatan peran perempuan dalam dunia politik, suara lantang Gerwani mengajarkan pada penguasa orde baru akan determinatif gerakan perempuan dalam mengubah dunia. Sindrom desekrasi gerakan perlu dilancarkan, sembari meyakinkan korporasi asing bahwa kekuatan oposisi sejati, dibawah panji komunis, berhasil dimusnahkan.

Penggalian terhadap sejarah peran perempuan zaman feodalisme dalam bingkai budaya patriarki dilakukan. Gerakan perempuan di kambingkan hitamkan sebagai laknat dan tidak beradab. Perempuan sejati indonesia adalah perempuan yang patuh mengayomi, figuran yang menonjolkan para pemeran utama. Ideologi ibuisme ala orde baru mengembalikan perempuan kedalam ranah domestik, dengan pujian manis sebagai tiang negara, dengan makna tersirat sebagai yang bertanggung jawab terhadap kehancuran negara. Gerakan perempuan mengalami deideologisasi dan depolitisasi.

Zaman reformasi meniupkan kembali angin segar pada gerakan demokratik. Lembaga Swadaya Masyarakat yang sebelumnya dimanfaatkan untuk mengalihkan tanggungjawab negara kini menjadi salah satu kekuatan yang melahirkan embrio kebangkitan perempuan. Gaung kesetaraan mulai digemakan oleh berbagai kalangan, sambil memanggil keluar perempuan dari ranah domestik. Ada capaian memang, namun kondisi perempuan tidak banyak beranjak dari tempatnya. Dia masih berbeban ganda, dia masih penderita utama.

Kompleksitas Perempuan Indonesia
Perempuan bergerak dari sejarah yang berbeda sehingga menjadi hal yang mutlak kepentingan partikularnya menjadi perhatian. Budaya patriarki tidak memberikan celah penerimaan dalam kesadaran masyarakat bahwa dia sepantasnya dimanusiakan. Berbagai kalangan memandang tujuan sejatinya telah tercapai ketika perempuan mendapatkan pendidikan dan menduduki berbagai jabatan formal yang tidak pernah di dapatkan oleh Kartini. Pemikiran semacam ini sekali lagi membuktikan kepada kita pandangan masyarakat yang belum terbebas.

Budaya patriarki tidak akan hilang hanya dengan memberikan posisi penting, memberikan kuota sebanyak 30% untuk menjamin keterlibatan politik atau melindunginya dari kekerasan rumah tangga melalui pengaturan hukum. Kebijakan hanya akan menjadi dorongan taktis yang afirmatif untuk mempermudah perjuangannya untuk terbebas. Yang seharusnya ada di dalam benak setiap pejuang kesetaraan adalah menciptakan syarat materiil untuk mengembalikan perempuan pada posisinya sebagai manusia yang berdaulat, bukan untuk menjadi lebih unggul, tetapi menjadi determinan dan beriringan dengan entitas lain dalam masyarakat tanpa dalil sosial budaya, ekonomi maupun politik. Demikianlah sesungguhnya esensi dari eksistensi manusia. Esensi manusia dalam mempertahankan hidup untuk dapat menciptakan sejarah, dengan syarat logis berproduksi materiil dan reproduksi. Ini menjadi tanggung jawab semua manusia untuk memanusiakan manusia.

Kondisi materiil inilah yang tidak dimiliki oleh perempuan Indonesia secara holistik. Dengan status ekonomi berkembang memberikan tawaran kesempatan yang lebih kecil kepada Indonesia untuk memiliki independensi. Pastinya akan menjadi pertanyaan di benak kita bagaimana Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah ini bisa menyandang status berkembang? Dan bagaimana pula status berkembang ini berdampak ganda pada kemajuan kaum perempuan?

Pertama, pembangunan logika modal dalam kekuasaan teritori. Momentum perang dunia menjadi ajang pemulihan perekonomian melalui perbelanjaan senjata dunia dengan dibangunnya Industri persenjataan. Amerika Serikat dengan tegas memberikan dukungan kepada negara eropa yang kalah dalam perang melalui program Marshall Plan untuk sekutu maupun saingan globalnya. Tujuannya jelas, kucuran dana strategis negara bangsa Amerika Serikat, pertama untuk memperbaiki posisi ekonomi kapitalis eropa demi kepentingan melindungi dominasi ekonomi politik Amerika Serikat, melalui rekonstruksi Lembaga Internasional yang berarti juga melindungi perekonomian dunia dari ancaman pergolakan buruh ala soviet dan kedua, untuk memastikan pembukaan dan penerimaan pasar terhadap kapital finansial—melalui persetujuan bretton woods—amerika serikat yang perhitungan standar nilai perdagangan emasnya berdasarkan dolar amerika serikat.

Disinilah titik pertemuan antara logika kekuasaan teritori dan logika kekuasaan kapitalis ala Arrighi. Pemaksaan logika kekuasaan kapitalis yang lintas teritori melalui Logika kekuasaan teritori negara bangsa amerika serikat adalah untuk menghilangkan batas negara bangsa imperialis lainnya dengan semakin mengukuhkan negara bangsa amerika serikat melalui penerapan pasar bebas baru berganti raga, tanpa berganti jiwa, Neoliberalisme.[8]

Untuk memastikan sentralisasi sumber daya alam dan perekonomian negara berkembang di tangan lembaga dunia di bawah kontrol Amerika Serikat, ekspor modal dan kredit dikucurkan, dengan tujuan yang telah tersebut sebelumnya, yaitu pembukaan pasar. Salah satu sasaran empuknya adalah Indonesia, yang telah lama di gadaikan oleh pemerintah orde baru. Privatisasi adalah salah satu senjata ampuh kolonisasi segala bidang, bumi, air, pendidikan, kesehatan yang menyangkut hajat hidup 200 juta lebih penduduk Indonesia.

Kedua, watak kekuasaan pemimpin Indonesia. Tak perlu diragukan lagi warisan dampak dari Soeharto terhadap 200 juta lebih rakyat Indonesia beserta keturunannnya. Perekonomian dalam negeri yang terbangun di atas landasan utang luar negeri dan modal asing di bawah pemerintahan soeharto beserta kroninya di bawah payung partai Golkar mulai mengalami kehancuran akibat krisis moneter tahun 1997 yang bertepatan dengan jatuh tempo pembayaran utang luar negeri. Untuk menalangi pembayaran utang yang berjumlah fantastik, Pemerintahan Soeharto menyepakati penandatanganan Letter of Intens dari International Moneter Fund (IMF) dengan harapan pengembalian keseimbangan neraca keuangan. Imbalannya, Indonesia diwajibkan untuk memberlakukan beberapa kebijakan penyesuaian salah satunya adalah Privatisasi Badan Usaha Milik Negera (BUMN).

Mei 1998, kediktatoran Soeharto berhasil diruntuhkan disertai tumbal nyawa para aktivis kontra soeharto dan bangkai serta harga diri ribuan perempuan tionghoa yang diperkosa, siksa dan dibunuh, yang Menurut David Bourchier, spesialis studi Indonesia di Universitas western Australia, dilansir oleh Sydney Morning Herald dan banyak pihak, dibawah komando pimpinan Kopassus pada saat itu, Prabowo Subianto. Hal ini pulalah yang menyebabkan Prabowo memperoleh “penghargaan” sebagai Persona In Grata dari beberapa negara barat, termasuk Washington, dan kelompok pembela HAM internasional lainnya. Hebatnya, saat ini mantan komandan lapangan Timor Timur ini menjadi calon presiden potensial dalam Pemilihan umum yang akan datang.

Pemerintahan pasca soeharto, mulai dari Habibie sampai pada SBY-Boediono, mempertahankan karakter orde baru sebagai agen kapitalisme yang loyal. Aset negara dibawah pemerintahan komprador terus bertranformasi menjadi milik perorangan melalui segala bentuk kebijakan yang menghalalkan kebebasan berinvestasi dan privatisasi bidang infrastruktur yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Megawati yang “beroposisi” di era orde baru, mulai menunjukkan taringnya pasca berkuasa. Suasana represif mulai memanas pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memberlakukan sistem outsourching dan sistem kerja kontrak. Pemerintah di bawah kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono telah 4 kali menaikkan bahan bakar minyak yaitu Maret tahun 2006 40 % untuk gas dan 28% untuk bahan bakar minyak, oktober 2006, juni 2008 sebesar 30% dan terakhir april 2012. Kenaikan ini menyebabkan kenaikan di hampir semua bahan komoditi mulai dari bahan pangan, pakaian, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pengangguran meningkat mencapai 4 juta orang. 175 juta Ha tanah didominasi oleh kapitalis swasta, setara dengan 91% area lahan Indonesia. Kekayaan minyak dan gas dikuasai sebanyak 90%, 89% mineral dan 75% batu bara, dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan di negara maju.

Dampaknya cukup jelas, menimpa rakyat miskin, terutama perempuan miskin yang sebelumnya terbelenggu patriarki. 10 juta perempuan muda mengalami anemia karena kekurangan gizi, 11,8 juta perempuan melahirkan bayi prematur. Tahun 2005, dari total 4 juta perempuan hamil, 1 juta diantaranya mengalami kekurangan energi yang kronis dan 2 juta yang mengalami anemia kronis, yang menyebabkan 350.000 bayi lahir dengan berat badan kurang atau cacat setiap tahunnya. Di jakarta, perempuan yang mengalami PHK mencapai 88% dari total pengangguran. Ketika angka buta huruf Indonesia mencapai 9,7 juta jiwa, 65% diantaranya adalah perempuan.

Ini adalah buah benih perkawinan mesra antara Patriarki dan Sistem Ekonomi Liberal. Persoalannya tidak terpisah, maka tidak seharusnya ia dipisahkan dalam pemahaman rakyat miskin dan gerakan demokratik Indonesia. Perjuangan bagi pembebasan perempuan bersifat universal. Sebagai perempuan, ia di belenggu oleh Patriarki. Penindasan akan bertambah bagi perempuan korban sistem ekonomi neoliberal, yang tidak dititipkan kelebihan lain kecuali sekedar kebutuhannya untuk bertahan hidup. Ini kompleksitas perempuan Indonesia masa kini, yang luput dari perhatian seorang kartini sebagai pelaku sejarah pada zamannya.

Penutup
Bagaimanapun juga Kartini telah memenuhi panggilan zaman. Dia telah berperan dengan sebaik-baik pada masanya. Sosoknya menjadi pelopor, namun perjuangannya tidak tepat untuk di duplikasi. Gerakan perempuan memiliki strategi perjuangan yang berkesesuaian dengan perkembangan zaman yang menitipkan kompleksitas modernisasi. Sejarah hanya menjadi acuan untuk merumus, bukan patron untuk bertindak. Hanya dengan demikian perjuangan perempuan akan menemukan esensinya, yang tidak beromantisme dengan masa lalu, yang tidak sektarian dan parsial dengan mengelitiskan isu tanpa kompartemen, namun menjadi salah satu kekuatan penentu dunia masa depan. Oleh karena itu, menjadi jelas bagi kita bagaimana semu nya perjuangan pembebasan tanpa keterlibatan perempuan.

[1] Surat Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 25 Mei 1899
[2]Surat Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 12 Januari 1900.
[3] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini saja, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003
[4]Surat kepada Ny. Ovink Soer, tahun 1900
[5]Surat kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900.
[6] Sriati Mangoenkoesoemo dalam “De Javaansche Vrouw” sebagaimana yang dikutip oleh Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003, hlm. 103
[7] Suryadi A radjab, Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara:Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Problem Filsafat No.02/Tahun I/Januari 2012
[8] Doug Lorimer, Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya, dipresentasikan dalam Konferensi Marxism Tahun 2000 di Sydney Tanggal 5-9 Januari 2000

Memproyeksi Periode Pasca Pasca-Orde-Baru (Bagian 2)

Oleh: DR. Max Lane

Artikel ini merupakan salah satu Bab dari buku yang diterbitkan pada 2014, berjudul “Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi” disusun oleh  Usman Hamid, AE Priyono. Artikel ini dirampungkan pada pertengahan 2013. Penerbitan artikel ini telah seijin penulis artikel dengan tujuan untuk pendidikan dan penyadaran.

Politik Pasca Pasca-Orde-Baru

Pengorganisasian kembali kelas pekerja Indonesia
Kelas buruh Indonesia berperan penting dalam gerakan memaksa Suharto turun. Aksi bersama kaum buruh dan mahasiswa serta gerakan mogok dengan tuntutan high-profile selama tahun 1990an mempelopori suasana pemberontakan. Suasana ini menciptakan munculnya ratusan ribu massa yang siap turun ke jalan untuk menuntut kebutuhan kelasnya – demokrasi – yang juga didukung oleh kelas buruh Indonesia. Mereka tidak bergerak di bawah bendera serikat buruh ataupun partai buruh. Memang pada tahun 1990an bentuk kekuatan sosial-politik yang sempat berkembang ialah organisasi-organisasi sementara, wadah-wadah ad hoc, sampai juga termasuk respon bersama terhadap seruan-seruan selebaran. Inilah cikal-bakal untuk munculnya serikat-serikat alternatif terhadap organisasi resmi buruh masih sangat yang dikendalikan pemerintah. Pengamatan ini menjadi penting karena fungsi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ketika itu terutama adalah sebagai perpanjangan tangan kekuatan negara dan dunia usaha. SPSI tidak memfasilitasi kelas buruh mengorganisir diri bersama-sama, justeru sebaliknya.

Pada tahun 1998 bukan hanya kroni yang kehilangan dukungan kekuatan represi militer. Serikat buruh SPSI dengan elitenya dan strukturnya juga tidak lagi dilindungi negara. Bahkan Presiden Habibie bergerak sangat cepat untuk melepaskan SPSI dari kontrol pemerintah. Selama sekitar periode 1998-2008 dunia serikat buruh, termasuk berbagai elemen SPSI, berkembang dengan dinamika-dinamikanya sendiri. Tidak semua dinamika ini tampak kelihatan bagi yang mengamati dari luar, tetapi jelas bergairah meski penuh kontradiksi.

Tampak sangat jelas bahwa apa yang sedang terjadi di sektor buruh formal dan serikatnya merupakan pengorganisiran diri kembali dari sebuah bagian dari kelas sosial proletar yang memiliki ratusan ribu anggota, sumberdaya, serta juga posisi, yang strategis dalam proses perubahan ekonomi-politik negeri ini. Ini merupakan faktor – meski masih seawal-awalnya – yang sama sekali baru dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Saya menduga, situasi tahun 1920an bisa berulang kembali dalam versi modernnya pada periode pasca 2014. Sudah pasti ini akan berdampak radikal bagi kehidupan politik kepartaian. Pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang paling siap mengambil manfaat dari situasi ini? Kapan dan bagaimana akan muncul sebuah partai buruh massa di Indonesia yang situasi-situasi kelahirannya akan menjadi semakin matang dalam waktu yang dekat ini? Baca lebih lanjut

Pertarungan kepentingan apa dibalik Prabowo dan Jokowi?

(Mengapa Perolehan Suaranya Ketat?)

 

Memang, Pemilu Presiden 9 Juli sudah rampung, namun perseteruannya belum usai. Hasil pemilu baru akan ditentukan pada tanggal 22 Juli nanti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan itu pun tidak berarti perseteruan akan usai, namun perseteruan di antara faksi-faksi borjuasi bisa saja didamaikan—dengan kompromi demi kepentingan pertimbangan ekonomi-politiknya.

Pangkal pertarungannya tak bisa di ukur dari perbedaan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survey yang memenangkan kubu koalisi Prabowo-Hatta (di satu sisi) dan kubu Jokowi-JK (di sisi lain). Akan tetapi, ilusi (dalam retorika, bual-bualan) yang dibangun keduanya telah menghasilkan “terbelahnya” rakyat dalam posisi (ketat) mendukung calon presidennya. Dukungan rakyat terhadap faksi-faksi borjuasi ini, memang harus dinilai sebagai dukungan yang meningkat—dilihat dari menurunnya tingkat Golput; dan partisipasi rakyat dalam membangun komunitas-komunitas relawan. Misalnya, terbangun lebih dari 1.200 organisasi komunitas relawan untuk memenangkan Jokowi-JK.

Dukungan rakyat yang marak ini merupakan cerminan dari: pertama, muak pada gaya pejabatisme; kedua, benci pada korupsi; ketiga, marah pada sistem ekonomi neoliberalisme yang berimbas pada kemiskinan dan ketimpangan; keempat, hasrat akan kemandirian bangsa menyaksikan dominasi modal asing atau imperialisme; kelima, keinginan untuk perubahan; keenam, tak ada alternatif lain yang disediakan oleh kaum pergerakan.

Kehendak untuk perubahan itu lah yang kemudian dimanfaatkan, di satu sisi, oleh borjuasi kabupaten/lokal seperti Jokowi, yang mendapatkan popularitas yang mencuat selama 3 tahun terakhir ini dengan jargon-jargon “Jujur, Merakyat, Sederhana” “blusukan” dan lain-lain; dan, di sisi lain, oleh kekuatan lama borjuasi(kroni) sisa-sisa Orde Baru (OrBa) yang hendak bangkit dengan cara membelokkan harapan rakyat tersebut dengan jargon-jargon lama “Macan Asia!”, “lebih enak jaman Orba!”, “Indonesia Bangkit!”, “Tegas”, “Berani” dan lain sebagainya. Serta borjuis bagian paling belakang pendukung kekuatan sisa-sisa OrBa—sebut saja ring (lingkaran) kedua atau ketiga—yang diakhir-akhir reformasi berbalik mengkhianati “tuannya”, Soeharto, segera setelah jutaan massa turun menggulingkan rejim paling berdarah dalam sejarah negeri ini. (Sedangkan lingkaran pertama borjuasi kroninya praktis lumpuh secara politik sehingga modalnya tidak bisa lagi berkembang, kecuali sisa-sisa modalnya yang mengalami kesulitan dikembangkan sebagai borjuis independen, terutama karena sulitnya mendapat dukungan dana dari konsorsium-konsorsium modal asing. Prabowo adalah cerminan borjuis kroni lingkaran pertama yang berusaha merebut kembali otoritas politik demi menjadi borjuis kroni lingkaran pertama lagi.) Baca lebih lanjut

GSPB-Indonesia Tanpa Militerisme: Penjahat HAM! Tangkap, Adili dan Penjarakan!

Image

Pernyataan Sikap

Kaum Buruh dan Rakyat Bersatu:

Selamatkan Demokrasi

Lawan Militerisme dan Sisa Orba

Bangun Kekuatan Politik Alternatif

 

            Pemilu 2014 telah menyuguhkan watak sesuangguhnya dari semua kekuatan politik yang direpresentasikan oleh partai-partai politik peserta pemilu maupun elit-elit poliitknya: struktur kebijakan di bidang ekonomi dan politik yang telah dipersiapkan dan diberlakukan di era pemerintahan SBY-Boeediono yakni yang terus-menerus menerapkan model ekonomi neoliberalisme yang mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat demi keuntungan kaum modal serta pengesahan berbagai regulasi hukum yang terus-menerus mempersempit ruang demokrasi, yang secara otomatis akan memberikan legitimasi bagi negara untuk merepresi setiap gerakan perlawanan rakyat seperti UU intelejen, UU Penanganan Konflik Sosial,  UU Ormas, UU Kamnas, dan lain-lain. Dan dari semua itu tak satupun mendapatkan keberatan dari politik-partai poltik peserta pemilu. Sehingga, bagi rakyat sudah jelas, kekuatan politik manapun dari hasil pemilu ini yang berkuasa, tidak akan ada yang memihak pada kepentingan mayoritas rakyat.

            Menjelang Pilpres, selain Capres yang muncul (Jokowi dan Prabowo) merupakan representasi  terbaik dari kepentingan ekonomi dan politik kaum modal dalam melanggengkan dominasi dan memperdalam eksploitasinya terhadap rakyat dan sumber daya alam, juga secara umum sikap yang ditunjukan oleh partai dan elit politiknya makin menelanjangi watak status quo. Terlihat, semua partai politik hanya sibuk mencari koalisi dengan berbasiskan semata-mata pada sejauh mana Calon Presiden yang akan didukung bisa menang, sejauh mana kepentingan-kepentingan dari masing-masing kelompok bisa saling terpenuhi, semata-mata bagi-bagi jabatan dan kekuasaan—termasuk saling menutupi dosa masing-masing—untuk kembali mendapatkan akses ekonomi, agar kembali punya kesempatan mengisi pundi-pundi.

            Yang paling berbahaya dari hasil pemilu 2014 juga adalah munculnya figur Calon Presiden dari mantan militer yang memiliki jejak rekam pelanggaran HAM berat, yang menjadi salah satu aktor utama dari rezim Orde Baru dalam memberangus gerakan perlawanan rakyat, yang bertanggung jawab langsung atas penculikan dan penghilangan beberapa orang aktivis pada tahun 1998.  Prabowo Subianto dan kendaraan politiknya, partai Gerindra.  Bahkan, Prabowo dan Partai Gerindra sekarang telah bergandengan tangan, berkoalisi dengan kekuatan politik yang juga punya karakter reaksioner diantaranya PKS dan PPP. Dua nama terakhir ini juga punya jejak rekam yang destruktif terhadap demokrasi. Menguatnya kembali sisa Orba (baik yang masih utuh bercokol seperti militer dan Golkar maupun yang bertransformasi/berganti baju seperti Prabowo—Gerindra, Wiranto–Hanura, Surya Paloh- Nasdem) yang senada dengan partai-partai lainnya yang juga mengamini impunitas terhadap pelanggar HAM, permisif pada berbagai bentuk perampasan hak-hak ekonomi dan politik rakyat, mengamini wacana “politik kestabilan”, merupakan ancaman nyata bagi masa depan demokrasi, masa depan gerakan rakyat—ancaman nyata bagi masa depan perubahan yang lebih baik. Baca lebih lanjut

Bangun Alternatif dari Bawah! (Bagian Kedua)

Image

 

 

Wawancara dengan Max Lane

Koran Pembebasan berkesempatan melakukan wawancara dengan DR Max Lane. Wawancara ini dilakukan setelah hiruk pikuk pemilu legislatif 2014 dan selanjutnya kita dihadapkan pada pemilu presiden yang akan berlangsung bulan Juli nanti. Perbedaan-perbedaan pandangan terhadap pemilu 2014 mengemuka dari berbagai kelompok, begitu pula akan terjadi dalam pemilu presiden 2014. Ada kah kemungkinan-kemungkinan alternatif yang perlu dibangun? Mari kita simak bagian kedua ini. 

 

 

 

Surya: Bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilu Presiden nanti?

Max Lane: Saat ini orang melihat akan ada : Prabowo Subianto, ARB, dan Joko Widodo. Entah siapa yang akan jadi calon wakil presiden dari masing-masing Capres. Bisa juga nanti kalau hamper semua partai yakin Widodo akan gampang menang, semua gabung ke sana dan hanya ada satu capres.

Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nanti sifat-sifat kampanye yang sekarang akan berlangsung. Apakah kampanye menuju pemilihan presiden sama dengan kampanye Pemilu legislatif, penuh retorika pencitraan. Dan tanpa kelihatan ada perbedaan ideologis atau program yang berarti.  Atau akan lebih daripada itu. Kalau kampanyenya, masih kampanye retorika doang, ini akan sangat menguntungkan kekuatan reaksioner di Indonesia, baik sekarang maupun tahun depan. Kalau retorika PDIP: Indonesia Hebat!,  kemudian terjadi perdebatan dan kritikan dan jawabannya tetap orapopo, maka, PDIP dan Capresnya bisa semakin kehilangan momentum. Tetapi apakah memang ada perbedaan diantara 3 Capres ini? Semua memang mendukung strategi Neoliberal Washington Consensus, cuma dengan sedikit tekanan berbeda-beda yang tidak signifikan. Tetapi dalam membayangkan model politik yang sering di ungkapkan Bakrie maupun  Prabowo, mereka berdua-dua sering melontarkan ide bahwa model politik jaman Soeharto adalah yang paling bagus. Bahkan Prabowo dan Gerindra tidak segan mengatakan bahwa hak asasi tidak penting dan menampilkan Capresnya memang sebagai pemimpin, penguasa militer, daripada penguasa sipil. Hanya Subianto yang di kampanye-kampanyenya pasang “keris” di ikat pinggangnya. Apakah Widodo, sanggup melakukan kampanye yang lantang, jelas dan kongkret menolak segala aspek kembali kepada model politik Soeharto? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan slogan: Demokrasi yes, Militerisme ala Soeharto No? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan menyatakan:  jangan memilih pelanggar HAM berat? Apakah Jokowi sanggup di depan publik berjanji akan mengadili para pelanggar HAM berat? Atau apakah perbedaan tentang model politik kembali kepada masa Soeharto berani ditentang habis-habisan oleh Jokowi? Baca lebih lanjut

Bangun Alternatif dari Bawah! (Bagian Pertama)

Image

 

 

Wawancara dengan Max Lane

 Koran Pembebasan berkesempatan melakukan wawancara dengan DR Max Lane. Wawancara ini dilakukan setelah hiruk pikuk pemilu legislatif 2014 dan selanjutnya kita dihadapkan pada pemilu presiden yang akan berlangsung bulan Juli nanti. Perbedaan-perbedaan pandangan terhadap pemilu 2014 mengemuka dari berbagai kelompok, begitu pula akan terjadi dalam pemilu presiden 2014. Ada kah kemungkinan-kemungkinan alternatif yang perlu dibangun? Mari kita simak.

 

Surya: Selamat siang bung Max Lane. Bagaimana pandangan bung Max Lane terhadap pemilu 2014 ini?

Max Lane: Kalau dipandang dari hasilnya secara umum pola hasil pemilu ini sama dengan pemilu-pemilu paska 1999. Memang ada partai baru yang  berhasil masuk parlemen seperti Partai Nasdem, ada partai yang kehilangan suara seperti Partai Demokrat, ada partai-partai yang sedikitbanyak bertambah suara seperti:  PDIP, Gerindra, PAN, dan PKB. Ada perbedaan-perbedaan dengan pemilu sebelumnya, tetapi tidak terlalu penting dibanding dengan hal-hal yang sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu: pertama, bahwa sebagian besar masyarakat miskin Indonesia teralienasi atau terasingkan, merasa aspirasinya sama sekali tidak disuarakan atau diwakili oleh partai-partai yang ada. Ini tercerminkan dalam dua hal: pertama, orang yang tidak memilih, Golput itu sebesar 37%, belum lagi tercatat orang yang merusak surat suaranya sebagai tanda protes. Dan, belum juga termasuk orang yang terdaftar, menjadi pemilih tetapi tidak terdaftar sebagai pemilih, itu berarti minimal 45% orang Indonesia yang menurut perhitungan saya orang yang berhak memilih tetapi tidak memilih. Padahal di tahun 1999, Golput itu sangat rendah. Ada pola, sejak 1999 sampai sekarang, semakin banyak orang merasa tidak terwakili melalui organisasi-organisasi yang ada sekarang ini.

Faktor kedua adalah bahwa dukungan terhadap partai-partai yang ada sangat rendah sekali, mungkin yang terendah di dunia. Yang unggul adalah PDIP dengan 19,70%, aku hitung yang mendukung PDIP di rakyat Indonesia hanya sekitar 11-12% orang.  Dan dukungan itu hanya pasif, hanya memilih. Kalau kita lihat yang mendukung kampanye dan mobilisasi hanya yang berkaos merah –tidak ada rakyat yang spontan mendadak ikut kampanye. Belum lagi partailainnya,  misalnya, Gerindra naik suaranya mendapatkan 12%, tetapi 12% dari 60% yang berarti hanya 8% yang memilih Gerindra dan secara pasif. Faktor ini, Golput yang tinggi dan dukungan yang pasif pun untuk partai-partai yang sangat rendah sudah menunjukkan bahwa memang ada alienasi masyarakat daripada situasi sistem proses formal politik yang ada. Baca lebih lanjut

Dia yang Terbaik pada Zamannya

Image

oleh : Linda Sudiono

Kemeriahan terangkai dalam kegiatan karitatif tahunan di pemukiman padat penduduk maupun sekolah-sekolah setiap tanggal 21 april. Perkumpulan2 perempuan, baik itu PKK, Dharma Wanita maupun organisasi perempuan modern berkompetisi meramaikan perayaan hari Ulang tahun perempuan yang dikenal sebagai Ibu dari seluruh anak Indonesia, begitulah Kartini diperkenalkan kepada setiap generasi sejak tahun 1964. Melalui buku-buku sejarah dan lagu karangan Ismail Marzuki, kartini dicitrakan sebagai sosok perempuan sejati Indonesia dan simbol emansipasi perempuan. Emansipasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh bangsa Indonesia melalui kegiatan kreasi masakan dan sanggul antar RT, pemakaian kebaya oleh seluruh remaja putri disekolah maupun pembacaan puisi serta seminar di kalangan intelektual Indonesia. Itukah wujud emansipasi yang diusung oleh Kartini dalam pingitannya sebagai perempuan priyayi pribumi hindia belanda?

Kesadaran dari Humanisme Liberal
Kartini lahir dan dibesarkan dalam lingkungan feodal priyayi pribumi dari ayah seorang asisten wedana onder distrik mayong kabupaten jepara dan ibunya seorang anak dari kepala mandor pabrik gula. Kartini tidak pernah bertemu Ibunya. Ia dibesarkan dalam lingkungan poligami yang sarat dengan intrik, kecemburuan dan diskriminasi. Tidak ada catatan sejarah yang jelas mengenai Ibu kandungnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kesadaran sosial feodalisme pribumi yang memandang perkawinan pria bangsawan dengan perempuan kalangan jelata merupakan peristiwa yang mengotori darah ningrat, sebagai tabir yang enggan disibak

Sebagai perempuan dari seorang Bupati, kartini memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan oleh perempuan jelata lainnya. Ia bersyukur mendapat kesempatan untuk menikmati terang ilmu pengetahuan di sekolah belanda, setidaknya itulah yang terungkap dalam salah satu suratnya :
“pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari…” [1]
Kehidupannya di sekolah rendahan belanda menjadi tapak awal bagi kesadaran kritis Kartini muda. Diskriminasi rasial yang lazim terjadi di bangsa jajahan menjadi makanan sehari-hari bagi kartini di lingkungan sekolah.
“orang-orang belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami…” [2]

Perlu dicatat bahwa kepedulian kartini terhadap bangsa, khususnya terhadap kaum perempuan tidak hadir tanpa pijakan. Melalui keunggulan dalam menguasai bahasa belanda, kartini mendapat kesempatan yang tidak dimiliki perempuan pada zamannya untuk melahap buku-buku eropa, yang kemudian berkontribusi terhadap perkembangan pemikirannya. Beberapa karya yang paling berpengaruh dalam perputaran hidup Kartini antara lain Max havelaar dan Minnebrieven. Pengetahuannya tentang penderitaan pribumi di hindia belanda justru ia dapatkan dari karya agung Multatuli tersebut. Ini dapat dipahami mengingat pingitan keras terhadap perempuan, sebagaimana juga yang dialami oleh Kartini, membuatnya hampir mustahil untuk dapat bercengkrama, apalagi berkelana diluar lingkungan kastil agung priyayi.

Karya lain yang menjadi bekal perjuangan kartini adalah Moderne Maagden atau perawan-perawan Modern karya Marcel Prevost, seorang pengarang roman dan drama yang mengagungkan tentang keadilan. Dari buku inilah, pemikiran tentang emansipasi perempuan kartini dapatkan, juga kekagumannya terhadap buku Die Wapen Nieder karya Berthan Von Suttner, karya yang bersumbangsih bagi perjuangan perdamaian dunia.[3]

Kausalitas sejarah dan realitas telah melahirkan situs-situs peristiwa yang memaksa Kartini untuk menjaring generik situasi bangsa Hindia. Kartini menyadari lemah posisinya sebagai pribumi di bawah jajahan koloni. Dia menyadari penjajahan saudara dari bangsawan pribumi terhadap rakyat jelata, dan yang kemudian menjadi penting dalam sosok kartini adalah kesadaran mengenai ketidak berdayaan perempuan di lingkungan penjajahan, yang berkelindan dengan kesadaran sosial feodal. Ketika perjuangan gerakan Susan B. Anthony dan Elizabeth C. Saton melahirkan gelombang perlawanan perempuan di Amerika, Kartini berduka terbenam dalam ketidakberdayaan diri dan bangsanya. Gema kebangkitan gelombang gerakan demokrasi pemilihan di bidang politik dan pendidikan yang setara bagi kaum perempuan secara tidak langsung menjadi bahan renungan bagi kartini, bahwa ia tidak bisa diam karena dia terlanjur tahu. Dia terlanjur tahu duka bangsa terjajah, dia terlanjur tahu penderitaan subordinat kaum perempuan. dan sebagaimana kampanye yang ditiupkan dari dunia barat, maka ia memulai dengan Pendidikan.

“aku ingin dapat pergunakan bahasa belanda, dengan sempurna menguasainya, sehingga aku dapat mempergunakannya sebagaimana aku kehendaki, dan kemudian aku akan berusaha dengan alat-alat penaku menarik perhatian mereka, yang dapat membantu usaha kami untuk mendatangkan perbaikan bagi nasib wanita jawa…kami akan goncangkan dia bunda, dengan seluruh kekuatan kami…dengan demikian kami tak bakal menganggap hidup kami sia-sia”[4]

Dalam ketidakberdayaan, ia memulai dengan kemampuannya. kartini mengetahui dengan jelas bahwa perjuangannya tidak memiliki titik hantam tanpa keterlibatan sebanyak-banyaknya kaum perempuan. Untuk meningkatkan partisipasi maka perempuan harus berpengetahuan. Bagi kartini, Pendidikan merupakan sokoguru bagi sebuah bangsa, perempuan adalah tiang penyangga, maka perempuan harus berpendidikan. kelahiran selalu dimulai dari rahim seorang perempuan dan dari dia pulalah manusia pertama kali menerima didikan.

“ perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan : bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia…dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata… dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”[5]

Kartini memang terbaik pada zamannya. Dia melambangkan kebangkitan dari kaum perempuan yang tertidur di atas pijakan konservatisme feodal. Menjadi dapat dimaklumi ketika Kartini memulainya dengan Pendidikan atas landasan keterasingan kaum perempuan dalam produksi kehidupan sosial, maka tereliminasi pula hak-hak pribadinya. Kartini memang pantas untuk dinobatkan sebagai pelopor, pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Perjuangan kartini melambangkan kesadaran dari fondasi zamannya, yang tentunya akan menjadi berbeda dengan landasan sosial ekonomi saat ini. Konsekuensi logisnya adalah menyangkut landasan bergerak dari analisas sosial ekonomi yang berbeda dengan strategi perjuangan yang berbeda pula.

Perjuangan Perempuan dalam Zamannya
Gerak perlawanan massa selalu dimulai dari landasan status situasi. Begitulah kita diajarkan oleh sejarah. Termasuk di dalamnya adalah kebangkitan gerakan perempuan pada awal abad ke 19, yang kemudian menjalar bagaikan jamur ke setiap bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Landasan status situasi berada dalam elemen eksistensi dirinya dalam rupa ketimpangan sosial, berlandaskan kelas. Tidak hanya selesai pada titik itu, di dalam setiap ketimpangan sosial, simultan ketimpangan berlandaskan gender ada di dalamnya, baik yang berada di dalam eksistensi yang terstruktur maupun tidak terstruktur, maka dia dinamakan budaya. Mari kita belajar dari beberapa catatan sejarah tentang kebangkitan maupun keterlibatan perempuan.

Revolusi Perancis 1871, eksperimen presentasi murni massa rakyat diperancis bermula dari kaum perempuan. Percobaan serangan gerilya tentara “pertahanan nasional” Thiers terhadap Garda Nasional—pasukan tentara bentukan rakyat— pada tanggal 18 Maret 1871 mengalami kegagalan karena ratusan ibu-ibu warga sekitar mengerumuni artileri garda nasional yang akan diambilalih dan memprotes tindakan tentara Thiers. Keributan yang terjadi memicu kedatangan pasukan garda nasional dan warga lainnya. Kegagalan pelucutan senjata warga oleh tentara “Pertahanan Nasional” membuat Thiers ketakutan dan melarikan diri ke Versailles, kehancuran dari eksistensi terstruktur. Kekuasaan diambil alih dan Paris berada sepenuhnya di tangan proletariat. Di Rusia, tuntutan pada hari minggu terkahir pada bulan Februari 1917 para perempuan terhadap “roti dan perdamaian” menjadi pioner kekuatan yang menurunkan pemerintahan tsar 4 hari kemudian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peluang struktur politik bagi kebangkitan perempuan justru dilahirkan oleh pemerintahan anti rakyat serta pengabaian (baca : peremehan) terhadap peran perempuan. Pemandangannya yang ganjil di Brazil ketika perayaan Hari Perempuan Internasional diizinkan untuk digelar oleh kekuasaan otoriter Ernesto Geisel. Jangan berpikir kalau pemerintah otoriter mampu dan mau berpikir tentang pembebasan perempuan. Keberhasilan itu di dapatkan dari penilaian terhadap peran kaum perempuan yang apolitis dan tidak berbahaya. Pemerintahan Ernesto Geisel harus menelan pil pahit dari penilaian itu. Kesempatan perempuan untuk melakukan mobilisasi massa inilah yang kemudian memberikan ruang bagi konsolidasi gerakan oposisi dalam menumbangkan Rezim Geisel.

Perlawanan perempuan setiap belahan dunia menampilkan keterkaitan antara landasan ekonomi politik dengan bangkitnya perlawanan perempuan, dengan tujuan dan capaian yang berkesesuaian dengan hukum perkembangan sejarah. Begitu juga seharusnya kita memahami kelebihan sekaligus keterbatasan Kartini dalam perjuangannya. Sebagai simbol kebangkitan perempuan Indonesia, Kartini memang jauh dari menyentuh akar persoalan perempuan. Bekal gerakannya berdiri pada Humanisme dengan pandangan berkesempatan yang berperikemanusiaan bagi perempuan. Pendidikan menjadi perwakilan kebenaran, kemajuan peradaban, maka dia akan menjadi senjata yang sebaik-baiknya untuk mendamaikan dunia. Tidak ada yang salah dengan pandangan itu, hanya saja gerak strateginya yang Humanis tanpa menyentuh esensi penindasan menjadi terkesan utopis.

Namun demikianlah yang dititipkan situasi padanya. Kartini hidup dalam lingkungan feodal priyayi dengan kekuatan pasung terhadap perempuan yang luar biasa. Kondisi perempuan kalangan bangsawan dapat kita dalami dalam ungkapan tulisan Sriati Mangoenkoesoemo :
“Betapa menggairahkan keadaannya (= wanita desa itu) dibandingkan dengan wanita dari golongan atas. Betapa lebih menggairahkan hubungannya dengan suaminya dan keluarganya. Mereka berbagi kesukaan…pada merekalah para suami mula-mula datang kalau memerlukan nasihat bagaimana pajak harus dibayar. Bersama-sama mereka berbagi suka dan duka yang diberikan kepada mereka oleh hidup ini ”[6]

Tulisan diatas tidak sedang memberikan pemahaman kepada kita bahwa kehidupan perempuan jelata lebih baik. Penindasan terhadap perempuan bersifat universal, dia menimpa semua entitas yang bernama perempuan, dengan kadar kualitas dan rupa yang berbeda-beda. Demikian pula penindasan yang menimpa perempuan jelata dan bangsawan pada zaman itu. “Kesucian” kasta ningrat menjadi jeratan karena dialah yang akan menjadi causa prima pesakitan dari setiap masalah. Dalam lingkungan seperti inilah Kartini berkapitulasi, namun bagaimanapun juga dia telah memulai. Setidaknya nyata bahwa pendidikan-lah yang dibutuhkan oleh perempuan pada zamannya, sesuatu yang menjadi landasan taktis perempuan untuk setara.

Degradasi Makna Perjuangan Kartini
Bagi mereka yang membenci gerakan massa maka berterimakasihlah pada Soeharto. Diktator ulung inilah yang telah menjaring perangkap besar bagi seluruh rakyat miskin Indonesia dalam jebakan utang dan kemesraan mental bangsa terjajah. Jangan bilang dia diktator kalau gerakan sipil tidak dia hancurkan. Segera setelah naik ke pangkuan singgasana, Soeharto dan para pendukungnya melakukan pembersihan secara besar-besaran terhadap angkatan bersenjata dan administrasi sipil orde lama. Semua yang bernuansa orde lama tersingkir dengan digantikan oleh hiasan-hiasan orde baru. Hiasan yang dirangkai dari darah dan tulang jutaan rakyat tidak bersalah.

Paranoid orde baru menjadikan demokrasi mati suri. Aliansi segitiga antara angkatan darat, mahasiswa angkatan 66 dan teknorat segera menjadi pijar bagi orde baru. Angkatan darat sebagai senjata “pengawas” sipil, teknorat sebagai intelegensia corong liberalisme ekonomi pengganti berdikari dan mahasiswa sebagai resi dengan mitologi tanggung jawab moral masyarakat secara organik, dengan sesekali dikonfigurasi untuk menjadi kekuatan penekan tunggal, cerminan puing-puing demokrasi orde baru. Sebuah legitimasi sekaligus delegitimasi terhadap gerakan massa mengatasnamakan kestabilan sosial.[7]

Belajar dari kekhilafan brazil yang mengabaikan kekuatan peran perempuan dalam dunia politik, suara lantang Gerwani mengajarkan pada penguasa orde baru akan determinatif gerakan perempuan dalam mengubah dunia. Sindrom desekrasi gerakan perlu dilancarkan, sembari meyakinkan korporasi asing bahwa kekuatan oposisi sejati, dibawah panji komunis, berhasil dimusnahkan.

Penggalian terhadap sejarah peran perempuan zaman feodalisme dalam bingkai budaya patriarki dilakukan. Gerakan perempuan di kambingkan hitamkan sebagai laknat dan tidak beradab. Perempuan sejati indonesia adalah perempuan yang patuh mengayomi, figuran yang menonjolkan para pemeran utama. Ideologi ibuisme ala orde baru mengembalikan perempuan kedalam ranah domestik, dengan pujian manis sebagai tiang negara, dengan makna tersirat sebagai yang bertanggung jawab terhadap kehancuran negara. Gerakan perempuan mengalami deideologisasi dan depolitisasi.

Zaman reformasi meniupkan kembali angin segar pada gerakan demokratik. Lembaga Swadaya Masyarakat yang sebelumnya dimanfaatkan untuk mengalihkan tanggungjawab negara kini menjadi salah satu kekuatan yang melahirkan embrio kebangkitan perempuan. Gaung kesetaraan mulai digemakan oleh berbagai kalangan, sambil memanggil keluar perempuan dari ranah domestik. Ada capaian memang, namun kondisi perempuan tidak banyak beranjak dari tempatnya. Dia masih berbeban ganda, dia masih penderita utama.

Kompleksitas Perempuan Indonesia
Perempuan bergerak dari sejarah yang berbeda sehingga menjadi hal yang mutlak kepentingan partikularnya menjadi perhatian. Budaya patriarki tidak memberikan celah penerimaan dalam kesadaran masyarakat bahwa dia sepantasnya dimanusiakan. Berbagai kalangan memandang tujuan sejatinya telah tercapai ketika perempuan mendapatkan pendidikan dan menduduki berbagai jabatan formal yang tidak pernah di dapatkan oleh Kartini. Pemikiran semacam ini sekali lagi membuktikan kepada kita pandangan masyarakat yang belum terbebas.

Budaya patriarki tidak akan hilang hanya dengan memberikan posisi penting, memberikan kuota sebanyak 30% untuk menjamin keterlibatan politik atau melindunginya dari kekerasan rumah tangga melalui pengaturan hukum. Kebijakan hanya akan menjadi dorongan taktis yang afirmatif untuk mempermudah perjuangannya untuk terbebas. Yang seharusnya ada di dalam benak setiap pejuang kesetaraan adalah menciptakan syarat materiil untuk mengembalikan perempuan pada posisinya sebagai manusia yang berdaulat, bukan untuk menjadi lebih unggul, tetapi menjadi determinan dan beriringan dengan entitas lain dalam masyarakat tanpa dalil sosial budaya, ekonomi maupun politik. Demikianlah sesungguhnya esensi dari eksistensi manusia. Esensi manusia dalam mempertahankan hidup untuk dapat menciptakan sejarah, dengan syarat logis berproduksi materiil dan reproduksi. Ini menjadi tanggung jawab semua manusia untuk memanusiakan manusia.

Kondisi materiil inilah yang tidak dimiliki oleh perempuan Indonesia secara holistik. Dengan status ekonomi berkembang memberikan tawaran kesempatan yang lebih kecil kepada Indonesia untuk memiliki independensi. Pastinya akan menjadi pertanyaan di benak kita bagaimana Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah ini bisa menyandang status berkembang? Dan bagaimana pula status berkembang ini berdampak ganda pada kemajuan kaum perempuan?

Pertama, pembangunan logika modal dalam kekuasaan teritori. Momentum perang dunia menjadi ajang pemulihan perekonomian melalui perbelanjaan senjata dunia dengan dibangunnya Industri persenjataan. Amerika Serikat dengan tegas memberikan dukungan kepada negara eropa yang kalah dalam perang melalui program Marshall Plan untuk sekutu maupun saingan globalnya. Tujuannya jelas, kucuran dana strategis negara bangsa Amerika Serikat, pertama untuk memperbaiki posisi ekonomi kapitalis eropa demi kepentingan melindungi dominasi ekonomi politik Amerika Serikat, melalui rekonstruksi Lembaga Internasional yang berarti juga melindungi perekonomian dunia dari ancaman pergolakan buruh ala soviet dan kedua, untuk memastikan pembukaan dan penerimaan pasar terhadap kapital finansial—melalui persetujuan bretton woods—amerika serikat yang perhitungan standar nilai perdagangan emasnya berdasarkan dolar amerika serikat.

Disinilah titik pertemuan antara logika kekuasaan teritori dan logika kekuasaan kapitalis ala Arrighi. Pemaksaan logika kekuasaan kapitalis yang lintas teritori melalui Logika kekuasaan teritori negara bangsa amerika serikat adalah untuk menghilangkan batas negara bangsa imperialis lainnya dengan semakin mengukuhkan negara bangsa amerika serikat melalui penerapan pasar bebas baru berganti raga, tanpa berganti jiwa, Neoliberalisme.[8]

Untuk memastikan sentralisasi sumber daya alam dan perekonomian negara berkembang di tangan lembaga dunia di bawah kontrol Amerika Serikat, ekspor modal dan kredit dikucurkan, dengan tujuan yang telah tersebut sebelumnya, yaitu pembukaan pasar. Salah satu sasaran empuknya adalah Indonesia, yang telah lama di gadaikan oleh pemerintah orde baru. Privatisasi adalah salah satu senjata ampuh kolonisasi segala bidang, bumi, air, pendidikan, kesehatan yang menyangkut hajat hidup 200 juta lebih penduduk Indonesia.

Kedua, watak kekuasaan pemimpin Indonesia. Tak perlu diragukan lagi warisan dampak dari Soeharto terhadap 200 juta lebih rakyat Indonesia beserta keturunannnya. Perekonomian dalam negeri yang terbangun di atas landasan utang luar negeri dan modal asing di bawah pemerintahan soeharto beserta kroninya di bawah payung partai Golkar mulai mengalami kehancuran akibat krisis moneter tahun 1997 yang bertepatan dengan jatuh tempo pembayaran utang luar negeri. Untuk menalangi pembayaran utang yang berjumlah fantastik, Pemerintahan Soeharto menyepakati penandatanganan Letter of Intens dari International Moneter Fund (IMF) dengan harapan pengembalian keseimbangan neraca keuangan. Imbalannya, Indonesia diwajibkan untuk memberlakukan beberapa kebijakan penyesuaian salah satunya adalah Privatisasi Badan Usaha Milik Negera (BUMN).

Mei 1998, kediktatoran Soeharto berhasil diruntuhkan disertai tumbal nyawa para aktivis kontra soeharto dan bangkai serta harga diri ribuan perempuan tionghoa yang diperkosa, siksa dan dibunuh, yang Menurut David Bourchier, spesialis studi Indonesia di Universitas western Australia, dilansir oleh Sydney Morning Herald dan banyak pihak, dibawah komando pimpinan Kopassus pada saat itu, Prabowo Subianto. Hal ini pulalah yang menyebabkan Prabowo memperoleh “penghargaan” sebagai Persona In Grata dari beberapa negara barat, termasuk Washington, dan kelompok pembela HAM internasional lainnya. Hebatnya, saat ini mantan komandan lapangan Timor Timur ini menjadi calon presiden potensial dalam Pemilihan umum yang akan datang.

Pemerintahan pasca soeharto, mulai dari Habibie sampai pada SBY-Boediono, mempertahankan karakter orde baru sebagai agen kapitalisme yang loyal. Aset negara dibawah pemerintahan komprador terus bertranformasi menjadi milik perorangan melalui segala bentuk kebijakan yang menghalalkan kebebasan berinvestasi dan privatisasi bidang infrastruktur yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Megawati yang “beroposisi” di era orde baru, mulai menunjukkan taringnya pasca berkuasa. Suasana represif mulai memanas pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memberlakukan sistem outsourching dan sistem kerja kontrak. Pemerintah di bawah kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono telah 4 kali menaikkan bahan bakar minyak yaitu Maret tahun 2006 40 % untuk gas dan 28% untuk bahan bakar minyak, oktober 2006, juni 2008 sebesar 30% dan terakhir april 2012. Kenaikan ini menyebabkan kenaikan di hampir semua bahan komoditi mulai dari bahan pangan, pakaian, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pengangguran meningkat mencapai 4 juta orang. 175 juta Ha tanah didominasi oleh kapitalis swasta, setara dengan 91% area lahan Indonesia. Kekayaan minyak dan gas dikuasai sebanyak 90%, 89% mineral dan 75% batu bara, dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan di negara maju.

Dampaknya cukup jelas, menimpa rakyat miskin, terutama perempuan miskin yang sebelumnya terbelenggu patriarki. 10 juta perempuan muda mengalami anemia karena kekurangan gizi, 11,8 juta perempuan melahirkan bayi prematur. Tahun 2005, dari total 4 juta perempuan hamil, 1 juta diantaranya mengalami kekurangan energi yang kronis dan 2 juta yang mengalami anemia kronis, yang menyebabkan 350.000 bayi lahir dengan berat badan kurang atau cacat setiap tahunnya. Di jakarta, perempuan yang mengalami PHK mencapai 88% dari total pengangguran. Ketika angka buta huruf Indonesia mencapai 9,7 juta jiwa, 65% diantaranya adalah perempuan.

Ini adalah buah benih perkawinan mesra antara Patriarki dan Sistem Ekonomi Liberal. Persoalannya tidak terpisah, maka tidak seharusnya ia dipisahkan dalam pemahaman rakyat miskin dan gerakan demokratik Indonesia. Perjuangan bagi pembebasan perempuan bersifat universal. Sebagai perempuan, ia di belenggu oleh Patriarki. Penindasan akan bertambah bagi perempuan korban sistem ekonomi neoliberal, yang tidak dititipkan kelebihan lain kecuali sekedar kebutuhannya untuk bertahan hidup. Ini kompleksitas perempuan Indonesia masa kini, yang luput dari perhatian seorang kartini sebagai pelaku sejarah pada zamannya.

Penutup
Bagaimanapun juga Kartini telah memenuhi panggilan zaman. Dia telah berperan dengan sebaik-baik pada masanya. Sosoknya menjadi pelopor, namun perjuangannya tidak tepat untuk di duplikasi. Gerakan perempuan memiliki strategi perjuangan yang berkesesuaian dengan perkembangan zaman yang menitipkan kompleksitas modernisasi. Sejarah hanya menjadi acuan untuk merumus, bukan patron untuk bertindak. Hanya dengan demikian perjuangan perempuan akan menemukan esensinya, yang tidak beromantisme dengan masa lalu, yang tidak sektarian dan parsial dengan mengelitiskan isu tanpa kompartemen, namun menjadi salah satu kekuatan penentu dunia masa depan. Oleh karena itu, menjadi jelas bagi kita bagaimana semu nya perjuangan pembebasan tanpa keterlibatan perempuan.

[1] Surat Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 25 Mei 1899
[2]Surat Kartini kepada Estella Zeehandelaar, 12 Januari 1900.
[3] Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini saja, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003
[4]Surat kepada Ny. Ovink Soer, tahun 1900
[5]Surat kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900.
[6] Sriati Mangoenkoesoemo dalam “De Javaansche Vrouw” sebagaimana yang dikutip oleh Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003, hlm. 103
[7] Suryadi A radjab, Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara:Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru, Problem Filsafat No.02/Tahun I/Januari 2012
[8] Doug Lorimer, Serangan Global Imperialisme dan Kemungkinan Perlawanannya, dipresentasikan dalam Konferensi Marxism Tahun 2000 di Sydney Tanggal 5-9 Januari 2000