Arsip Tag: gerakan buruh

Mayday 2016: Demokrasi Seluas-luasnya Demi Pembagian Kekayaan Nasional Untuk Kaum Buruh dan Rakyat!

 Oleh: Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)

 

Mayday dan Internasionalisme Kaum Buruh

Tidak seperti di awal-awal reformasi, kini Hari Buruh Internasional atau yang sering disebut Mayday telah diperingati oleh semakin banyak kaum buruh dari berbagai organisasi dan berbagai daerah di Indonesia. Meskipun Orde Baru sempat menghilangkan hari bersejarah kaum buruh sejak tahun 1967, bahkan berusaha menghapus jejak perjuangan kaum buruh dalam sejarah kemerdekaan, namun pelopor-pelopor kaum buruh telah berhasil melengkapi syarat demokrasi—melalui reformasi 1998—untuk kembali memperingatinya saat ini.

Hari yang kita peringati sebagai Mayday tidak lain adalah suatu tonggak perjuangan kaum buruh untuk memperingati peristiwa berdarah Haymarket (pada 1-4 Mei tahun 1886 di Chicago AS) yang telah mengorbankan ratusan nyawa demi memperbaiki kesejahteraan kaum buruh dan mengantarkan kaum buruh pada beberapa kemajuan penting. Peristiwa Haymarket mendorong organisasi-organisasi buruh dari berbagai negara (Internasionale kedua) pada tahun 1889 untuk menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ketika pertama kali dilaksanakan pada 1890, Hari Buruh Internasional dimaksudkan untuk mengenang peristiwa Haymarket, menjadikannya sebagai hari untuk mengungkapkan tuntutan-tuntutan kaum buruh, dan sekaligus meluaskan gerakan dan solidaritas buruh secara internasional. Jadi, 1 Mei bukan lah sekadar menjadi pesta (viesta) perayaan perjuangan kaum buruh. Tuntutan utama gerakan Haymarket yang langsung meluas bersamaan dengan penetapan Mayday adalah pembatasan waktu kerja 8 jam yang sekarang telah dinikmati oleh milyaran kaum buruh sedunia. Terima kasih kami pada para pejuangnya, terutama mereka yang gugur dan mengalami penganiayaan.

Sejak Mayday ditetapkan, solidaritas kaum buruh antar negara mulai meningkat. Walaupun perang dunia I dan II sempat mengganggu karakter internasional tersebut (oleh pengkhianatan beberapa pemimpin serikat buruh dan partai buruh), namun internasionalisme kaum buruh tetap muncul dengan cara “menolak perang”, yang sekadar mewadahi kepentingan (keuntungan) kaum pemilik  modal dan negara-negara pendukungnya, namun menyengsarakan kaum buruh dan rakyatnya. Oleh sebab itu pula, solidaritas internasional kaum buruh juga telah ikut berperan dalam mendukung kemerdekaan RI. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya surat dukungan atas kemerdekaan RI dari organisasi-organisasi buruh berbagai negara saat itu. Bahkan kaum buruh Australia telah ikut melakukan pemogokan untuk memboikot kapal-kapal pembawa persenjataan kaum kolonial-imperialis (Belanda) ke Indonesia setelah proklamasi (1946).

Sehingga, selain sebagai pengingat capaian dan pengorbanan para pelopor kaum buruh yang telah berjuang bagi kemajuan kaum buruh saat ini, Mayday juga merupakan pengingat kaum buruh seluruh dunia bahwa kaum buruh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam perjuangannya. Sebenarnya dan selayaknya, kaum buruh itu tak berkebangsaan, warga dunia.

Karakter internasional perjuangan kaum buruh sesungguhnya didapat dari kenyataan bahwa kepentingan modal sebagai kepentingan yang mengksploitatif (menghisap) dan bertentangan dengan kesejahteraan buruh, juga berkarakter internasional. Selain itu, kaum buruh di negeri manapun berada dalam posisi yang sama-sama menjadi alat penumpuk kekayaan di bawah kapitalisme yang sudah berkarakter (monopoli) internasional, yang penghancuran sistem tersebut hanya mungkin dilakukan secara internasional pula. Untuk hal itu lah pertentangan sesama kaum buruh dari berbagai negeri adalah sesuatu yang bertentangan dengan semangat Mayday.

 

Kemiskinan Kaum Buruh dan Rakyat Indonesia

Walaupun negeri-negeri di dunia mayoritas menganut sistim kapitalisme dan kaum buruh di mana pun berada dalam posisi yang sama-sama tertindas, Indonesia tetap dapat dibedakan dengan negeri-negeri kapitalis maju, yang teknologi industrinya lebih maju. Di Indonesia, dengan rendahnya teknologi yang dimiliki, 1 jam kerja buruh tentu kalah produktif dengan 1 jam kerja buruh di negeri-negeri industri maju, dan karakter monopoli kapitalis-monopoli internasional (terutama dalam hal modal dan teknologi) menyebabkan kelimpahan industrialisasi nasional (yang dikontrol rakyat melalui kaum pekerja) hampir-hampir tidak mungkin bila tidak ada perubahan kebijakan ekonomi-politik dalam menghadapi serangan kapitalis-monopoli internasional, sehingga industrialisasi nasional (yang dikontrol rakyat melalui kaum pekerja) dapat melimpah tanpa ditelikung oleh ketergantungan pada kapitalis-monopoli internasional demi kepentingan kaum pekerja serta rakyat keseluruhan. Ilusi bahwa masih ada persaingan di dalam dunia usaha, layaknya mimpi di siang bolong, sebagaian besar dunia usaha—terutama modal dan teknologinya—sudah berada dalam cengkraman kapitalis-monopoli internasional

Oleh karena upah yang murah, kaum buruh kemudian dipaksa mengorbankan waktu istirahat dan kehidupan sosialnya untuk kerja lembur (di atas 8 jam) demi penghasilan tambahan yang menentukan. Di banyak tempat, anak-anak (dibawah usia kerja) juga masih dibebankan keharusan bekerja demi biaya pendidikan sendiri atau bagi penghasilan keluarga. Demikian halnya di bawah sistem kerja kontrak dan outsourcing, perlindungan dan kepastian kerja, serta pengembangan tenaga kerja semakin tidak dipedulikan.

Kondisi tersebut dipengaruhi pula oleh masih dominannya kaum buruh yang bekerja di sektor-sektor informal, dan jumlah pengangguran (termasuk ‘setengah pengangguran’) yang cukup tinggi. Kebijakan upah minimum (yang murah) tentu hanya menyentuh kaum buruh formal yang jumlahnya tidak lebih 50% dari keseluruhan tenaga kerja. Kaum buruh informal umumnya tidak dapat mengakses upah minimum karena dianggap bukan sebagai kaum buruh, atau bekerja di bawah tekanan atas banyaknya pengangguran dan pendidikan/ketrampilan yang rendah. Buruh informal ini tersebar massif di Indonesia.

Di tengah minimnya perlindungan sosial kepada anak di bawah usia kerja, kepada pengangguran, dan kepada pensiunan, maka seorang buruh (formal) dikondisikan untuk menghidupi lebih dari dirinya sendiri. Tentu lebih sulit bagi kaum buruh untuk menanggung beban hidup keluarga jika untuk menghidupi dirinya sendiri dengan layak saja kaum buruh masih kesulitan mengatur konsumsinya dengan upahnya yang murah.

Hasilnya, tingkat kemiskinan yang masih diukur dengan pendapatan 2$/hari saja sudah menunjukkan jumlah rakyat miskin yang lebih dari 50% jumlah penduduk. Bagaimana lagi jika ukuran kesejahteraan (berdasar pendapatan) dinaikkan diatas upah minimum? Pasti jumlahnya lebih dahsyat dari angka-angka pemerintah.

Namun ironisnya, pada saat yang sama, jumlah kekayaan para pemodal di Indonesia juga meningkat. Nilai kekayaan mereka bahkan sudah hampir menyamai orang-orang terkaya di dunia. Walaupun krisis menerpa, kekayaan 1% pemodal di Indonesia masih menguasai 50,3% kekayaan Indonesia. Dan parahnya lagi bila kekayaan tersebut dimasukkan kedalam bidang agraria, maka 0,2% penduduk telah menguasai 56% luas daratan di Indonesia—baik dalam bentuk permukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian sampai pengelolaan hutan. Tidak heran jika Koefisien Gini (sebagai salah satu alat untuk mengukur kesenjangan sosial) di Indonesia berada pada angka 0,41—yang berarti berada dalam kondisi yang sangat senjang.

Kemiskinan tentu bukan disebabkan oleh malasnya kaum buruh maupun rakyat Indonesia seperti yang sering dikatakan pemerintah maupun pemodal, namun karena tidak adanya kebijakan negara yang mendasar untuk menuntaskan kemiskinan tersebut. Dari situasi tersebut, tugas mendesak kaum buruh di Indonesia adalah meringankan beban penderitaan kaum buruh dan rakyat, serta meningkatkan kapasitas produktif rakyat dengan mendorong suatu pembagian kekayaan nasional yang adil. Dengan cara pembagian yang adil tersebut, kaum buruh akan lebih merenggangkan dirinya dari cekikan modal baik yang dikenakan langsung pada kaum buruh, maupun yang tidak langsung yakni melalui pemiskinan kepada rakyat keseluruhan. Juga, melalui pembagian kekayaan nasional yang adil, rakyat Indonesia dimungkinkan untuk semakin produktif dalam tugas-tugas produksi dan kemanusiaan selanjutnya.

 

Demokrasi Seluas-luasnya Demi Pembagian Kekayaan Nasional Untuk Kaum Buruh dan Rakyat

Apa itu kekayaan nasional? Kekayaan nasional adalah segala sesuatu yang telah dihasilkan oleh kerja kaum buruh dan rakyat serta segala potensi ekonomi yang terdapat di Indonesia. Ini mencakup kekayaan sumber daya alam, kekayaan sumber daya manusia, kekayaan keuangan, serta kekayaan barang, teknologi, produk hukum, politik dan kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di Indonesia.

Selama ini kekayaan nasional dalam pengertian diatas telah di kuasai dan di monopoli oleh penguasa dan korporasi internasonal dari tangan kaum buruh dan rakyat Indonesia.  Penguasaan dan monopoli atas kekayaan nasional ini membuat kapitalis nasional dan internasional semakin kaya dan mendapatkan keistimewaan (privileged) dan dominasi atas ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan.

 

Pembagian kekayaan nasional dapat dibagi menjadi beberapa program utama, yaitu:

Pertama, Upah Layak Nasional. Yaitu pendistribusian hasil keuntungan—yang merupakan bagian dari nilai-tambah yang dihasilkan oleh keringat buruh dalam proses produksi yang—lebih adil kepada kaum buruh. Distribusi tersebut mencakup standar upah minimum dan ‘upah progresif’ yang memungkinkan kaum buruh mendapat pembagian yang lebih adil dari peningkatan keuntungan perusahaan. Dalam hal ini, segala ‘ketidakmampuan’ perusahaan dalam memenuhi upah minimum harus diambil-alih tanggungjawabnya oleh negara. Dan sebagai konsekuensinya, sistem kerja kontrak dan outsourcing, yang menjauhkan hak-hak buruh atas suatu proses produksi, harus dihapuskan. Selain itu, demi memperbaiki tunjangan-tunjangan bagi kaum buruh, jaminan-jaminan sosial bagi kaum buruh, kondisi kerja kaum buruh, hak-hak demokrasi keserikat-buruhan, menuntut kaji-ulang (revisi) Undang-Undnag Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.

Kedua, Reforma Agraria. Yaitu pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah (penggarap), bantuan modal dan teknologi/sarana-sarana produksi lainnya yang berkualitas serta murah, dan penetapan harga hasil-hasil produksi pertanian yang adil seketika diselaraskan dalam perbandingan (trade-off) dengan hasil-hasil produksi industri (apalagi yang dikonsumsi oleh kaum tani) agar tidak terjadi pemiskinan dan “penghisapan desa oleh kota”, serta pertanian yang memungkinkan kaum tani mendapat kesejahteraan dari kerjanya atas tanah. Lebih jauh lagi reforma agraria mencakup demokratisasi pengelolaan atas sumber-sumber alam lain di luar tanah seperti air, hutan, mineral, dan sebagainya, yang mampu mengangkat kesejahteraan hidup rakyat sekaligus menjaga daya tahan lingkungan.

Ketiga, Pajak Progresif. Yaitu penarikan pajak yang lebih tinggi kepada keuntungan dan pendapatan pemodal-pemodal besar dengan cara meningkatkan persentase pajak dalam setiap kelipatan pendapatan pemodal. Itu berarti semakin tinggi keuntungan suatu perusahaan, maka semakin besar persentase pajak yang harus dikenakan. Ini juga berarti penghapusan segala jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat.

Keempat, Nasionalisasi dan Industrialisasi Aset-Aset Vital Nasional yang dikontrol rakyat. Yaitu mengembalikan aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang selama ini dikelola oleh swasta (baik asing maupun nasional) ke tangan negara, untuk kemudian diperkuat dengan melakukan perencanaan (kontrol rakyat) atas industrialisasi nasional yang berwatak sosial atau kerakyatan. Industrialisasi sendiri bukan hanya dikenakan kepada aset yang di nasionalisasi, tetapi juga aset yang selama ini tidak dipergunakan dengan maksimal oleh negara. Nasionalisasi dan Industrialisasi selain akan menambah pemasukan negara, juga akan membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi rakyat.

Kelima, Peningkatan Subsidi dan Fasilitas Umum Bagi Rakyat. Yaitu pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi maupun budaya bagi rakyat yang berasal dari anggaran negara. Ini mencakup subsidi pangan, subsidi energi, subsidi perumahan, dan pemberian fasilitas gratis terhadap kesehatan, pendidikan, listrik, irigasi, laboratorium, internet, perpustakaan, fasilitas kesenian, olahraga, kesenian, dan sebagainya.

Pemberian fasilitas infrastruktur ekonomi dan budaya yang demikian, walaupun dibutuhkan oleh seluruh rakyat, namun terlebih lagi di pedesaan. Hal ini adalah konsekuensi dari kemiskinan yang mayoritas berada di pedesaan. Dengan pemerataan infrastruktur antara kota dan desa, maka dimungkinkan pula untuk memeratakan penduduk yang hari ini masih terpusat di kota-kota besar. Dalam hal kesehatan, kenaikan iuran BPJS (bahkan penerapan sistem iurannya dari awal) sudah bertentangan secara mendasar dengan pemerataan kekayaan. Sehingga hal ini secara bersamaan akan menuntut penghapusan sistem iuran dalam BPJS.

Politik Kaum BuruhPada akhirnya, sistem yang menguntungkan segelintir orang hanya dapat dihancurkan dengan mendemokratiskan tenaga produktif—manusia dan sarana-sarana/alat-alat produksinya—di tangan rakyat pekerja dan masyarakat. Tugas tersebut hanya mungkin dituntaskan sebagai tugas internasional yang menyatukan berbagai kekuatan produktif bangsa-bangsa di dunia. Namun demikian, karena sistim kapitalisme yang mendunia masih menghisap negeri-negeri (bangsa) yang dikuasainya, maka tidak ada jalan lain bagi kaum buruh selain membangun suatu transisi dialektika nasional-internasional menuju sistem yang berkeadilan sepenuhnya.

Sekarang ini, dalam Mayday yang menempatkan kaum buruh Indonesia sebagai agen kaum buruh seluruh dunia, sekaligus yang menyandang beban sebagai kaum pelopor perjuangan rakyat Indonesia, kaum buruh harus tampil ke depan dalam memberikan solusi bagi masalah-masalah rakyat Indonesia sekaligus menyerukan persatuan kaum buruh seluruh dunia. Seruan ini menjadi penting di tengah potensi konflik sesama buruh yang dilahirkan kapitalisme melalui peperangan, migrasi dan perdagangan bebas.

Politik kaum buruh harus menegaskan dirinya sebagai politik yang anti perang, anti rasisme, anti seksisme, dan anti nasionalisme sempit. Politik kaum buruh juga harus menegaskan dirinya sebagai politik yang bersahabat dengan pengungsi maupun buruh migran. Namun suatu upaya politik kaum buruh hanya dapat dicapai dalam sebuah alat politik. Dan alat politik yang dimaksud bukan lah sekedar alat politik yang memakai jubah ‘buruh’ tanpa program apapun yang hendak diperjuangkan, melainkan alat politik yang tahu persis apa masalah dan apa yang hendak diperjuangkan. Dan, diatas semuanya, tujuan dari program yang akan berupapaya membahagiakan kamu buruh dan rakyat secara keseluruhan, TAK AKAN BERHASIL DIWUJUDKAN BILA TANPA SEKALIGUS JUGA MEMPERJUANGKAN DEMOKRASI YANG SELUAS-LUASNYA, YANG SEPENUH-PENUHNYA BERKUALITAS MENGHARGAI HARKAT MANUSIA SECARA SOSIAL.

Memperjuangkan Demokrasi yang seluas-luasnya bermakna: menghancurkan musuh-musuh yang menghambat perkembangan kebebasan politik dan partisipasi kaum buruh dan rakyat (misalnya, demiliterisas, menghancurkan kebudayaan politik warisan Orde Baru, dsb), menghapus hingga merubah produk hukum dan politik yang menghambat kebebasan ekspresi, berpendapat, beragama dan berkeyakinan, kemerdekaan berpikir, kebebasan berorganisasi dan berpolitik (misalnya, RUU Keamanan Nasional, UU Ormas, UU Partai Politik, UU Pemilu, RUU KUHAP, UU Intelejen, UU Penanggulangan Konflik Sosial dan sebagainya).

Hanya dengan cara memperjuangkan demokrasi seluas-luasnya lah kaum buruh Indonesia menyatakan dirinya sebagai suatu kekuatan politik yang siap memberikan sumbangan bagi kebahagiaan dunia dan negerinya, memanusiawikan manusia!

 

Bangun Alternatif dari Bawah! (Bagian Kedua)

Image

 

 

Wawancara dengan Max Lane

Koran Pembebasan berkesempatan melakukan wawancara dengan DR Max Lane. Wawancara ini dilakukan setelah hiruk pikuk pemilu legislatif 2014 dan selanjutnya kita dihadapkan pada pemilu presiden yang akan berlangsung bulan Juli nanti. Perbedaan-perbedaan pandangan terhadap pemilu 2014 mengemuka dari berbagai kelompok, begitu pula akan terjadi dalam pemilu presiden 2014. Ada kah kemungkinan-kemungkinan alternatif yang perlu dibangun? Mari kita simak bagian kedua ini. 

 

 

 

Surya: Bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilu Presiden nanti?

Max Lane: Saat ini orang melihat akan ada : Prabowo Subianto, ARB, dan Joko Widodo. Entah siapa yang akan jadi calon wakil presiden dari masing-masing Capres. Bisa juga nanti kalau hamper semua partai yakin Widodo akan gampang menang, semua gabung ke sana dan hanya ada satu capres.

Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nanti sifat-sifat kampanye yang sekarang akan berlangsung. Apakah kampanye menuju pemilihan presiden sama dengan kampanye Pemilu legislatif, penuh retorika pencitraan. Dan tanpa kelihatan ada perbedaan ideologis atau program yang berarti.  Atau akan lebih daripada itu. Kalau kampanyenya, masih kampanye retorika doang, ini akan sangat menguntungkan kekuatan reaksioner di Indonesia, baik sekarang maupun tahun depan. Kalau retorika PDIP: Indonesia Hebat!,  kemudian terjadi perdebatan dan kritikan dan jawabannya tetap orapopo, maka, PDIP dan Capresnya bisa semakin kehilangan momentum. Tetapi apakah memang ada perbedaan diantara 3 Capres ini? Semua memang mendukung strategi Neoliberal Washington Consensus, cuma dengan sedikit tekanan berbeda-beda yang tidak signifikan. Tetapi dalam membayangkan model politik yang sering di ungkapkan Bakrie maupun  Prabowo, mereka berdua-dua sering melontarkan ide bahwa model politik jaman Soeharto adalah yang paling bagus. Bahkan Prabowo dan Gerindra tidak segan mengatakan bahwa hak asasi tidak penting dan menampilkan Capresnya memang sebagai pemimpin, penguasa militer, daripada penguasa sipil. Hanya Subianto yang di kampanye-kampanyenya pasang “keris” di ikat pinggangnya. Apakah Widodo, sanggup melakukan kampanye yang lantang, jelas dan kongkret menolak segala aspek kembali kepada model politik Soeharto? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan slogan: Demokrasi yes, Militerisme ala Soeharto No? Apakah Jokowi sanggup berkampanye dengan menyatakan:  jangan memilih pelanggar HAM berat? Apakah Jokowi sanggup di depan publik berjanji akan mengadili para pelanggar HAM berat? Atau apakah perbedaan tentang model politik kembali kepada masa Soeharto berani ditentang habis-habisan oleh Jokowi? Baca lebih lanjut

Pasang Naik Pergerakan Buruh Indonesia

Zely Ariane*

Tulisan ini adalah suplemen bagi tulisan Situasi dan Tugas-tugas Mendesak Perburuhan, dan modifikasi dari tulisan A new wave of workers struggles in Indonesia.

Sepanjang tahun 2011 sampai sekarang, kita sedang menyaksikan suatu gelombang baru radikalisasi buruh. Momentum tersebut dimulai ketika ribuan buruh melakukan mobilisasi melalui Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), menuntut agar RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan pada pertengahan tahun 2011. Disamping perdebatan pro dan kontra terkait RUU tersebut antar berbagai organisasi buruh, mobilisasi itu sendiri terbukti menjadi suatu alat efektif dalam memenangkan tuntutan hingga RUU tersebut disahkan setelah melakukan pendudukan di DPR.

Baca lebih lanjut

Ayo Sukseskan GERAKAN MOGOK NASIONAL 3 Oktober 2012!

Rapat Akbat buruh Jakarta Bergerak, 23 September 2012, menuju Mogok Nasional 3 Oktober 2012.

Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing!

Tolak dan Lawan Politik Upah Murah!

Kesehatan dan Pendidikan Gratis untuk seluruh Rakyat Tanpa Syarat!

Kawan-kawan Buruh dimana pun berada…

Hari Pemogokan Nasional telah ditetapkan oleh kawan-kawan kami di MPBI, yaitu Rabu 3 Oktober 2012. Kami yang tergabung dalam SEKBER BURUH JABOTABEK yang juga sudah mempersiapkan barisan kami, pastinya akan menjadi bagian aktif dan bersemangat dalam menyambut dan mensukseskan gerakan pemogokan ini. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan berkaitan dengan MOGOK NASIONAL 3 Oktober mendatang. Baca lebih lanjut

Perjuangan Buruh PT Agel Langgeng: “Kami Akan Menuntut Sampai Menang”

(Foto Henri Ismail) Bekasi 19/09/2012. Labor from PT Agel Langgeng on strike. They demand over their outsourcing status. PT Agel Langeng produces products such as Relaxa and Kapal Api candy.

Vivi Widyawati

Hari ini (25/9) merupakan hari ke 8 buruh-buruh PT Agel Langgeng yang berjumlah kurang lebih 300 orang melakukan mogok kerja menuntut agar 215 buruh kontrak, outsourcing dan borongan menjadi buruh tetap, meninjau ulang upah pekerja tetap yang masa kerjanya di bawah 1 tahun dan pemenuhan kesepakatan bersama. Aksi mogok ini diorganisir oleh Pengurus Basis GSPB PT Agel Langgeng.

Mogok hari pertama dimulai pada tanggal  17 September 2012, dengan sebelumnya pada tanggal 10 September secara serentak mereka berhenti berproduksi karena pihak pengusaha meliburkan pekerja outsorcing dengan alasan produksi sedang turun. Menurut Ade, alasan ini dibuat-buat oleh pihak pengusaha agar tidak memberikan upah, karena pagi harinya pabrik masih berproduksi. Pada tanggal 11/9 terjadi perundingan tetapi tidak membuahkan hasil, yang kemudian mendorong PB GSPB PT Agel Langgeng memutuskan untuk melakukan mogok sampai tuntutan dimenangkan. Baca lebih lanjut

Bebaskan Somyot Pruksakasemsuk

Aktivis Buruh dan Demokrasi Thailand*

Oleh: Sukanya Pruksakasemsuk

Lahir pada 20 September 1961, Somyot Pruksakasemsuk, delapan bersaudara, yang berasal dari keluarga China-Thailand, telah tercatat memiliki minat terhadap politik sejak muda. Di Sekolah Menengah Pertama, ia bersama dengan kakaknya terlibat dalam demonstrasi 14 Oktober 1976 untuk memperjuangkan demokrasi. Peristiwa tersebut menanamkan benih demokrasi di dalam dirinya yang terus menjaga kerinduannya terhadap keadilan sosial tetap menyala. Baca lebih lanjut

Negara Wajib Berikan Perlindungan Hukum Bagi Buruh Freeport

Konferensi pers Koalisi untuk perjuangan buruh PT. Freeport

Konferensi Pers: Koalisi Untuk Perjuangan Buruh PT Freeport Indonesia

Kami mendukung upaya buruh PT Freeport Indonesia untuk menuntut peningkatan kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah harus menjamin perlindungan hukum bagi para buruh dari segala bentuk ancaman selama melancarkan aksi pemogokan dan berbagai bentuk negosiasi lainnya sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Aksi Mogok Kerja oleh 8.000 karyawan PT. Freeport Indonesia di Timika menuntut manajemen perusahaan melakukan penyesuaian upah standar PT Freeport Mc Moran di negara lain. Selama ini PT FI membayar buruhnya US$ 1,5 per jam dan buruh menuntut kenaikan upah menjadi US$ 3 per jam atau Rp 25 ribu per jam. Sementara, karyawan PT Freeport di negara lain menerima upah US$ 15 per jam atau Rp 128.250 per jam. Baca lebih lanjut

Sumbangan untuk aksi Tunjangan Hari Raya (THR)

Aksi menuntut THR PPBI Jatim

Yusuf Dwi Handoko*

SERUAN TERBUKA DAN PENYERAHAN DIRI !

TINDAK DAN AWASI PELAKSANAAN THR !

Ibarat dongeng dari Yunani, “Mitos Sisifus”, persoalan yang terjadi dan kesalahan yang sama selalu terjadi beurulang-ulang selama bertahun-tahun, di saat mayoritas rakyat Indonesia merayakan Hari Raya Iedul Fitri. Seakan-akan dewa tak akan sudi mencabut kutukan ini, dan Sisifus akan terus mengangkat batu karang hingga ke puncak gunung, lalu jatuh kembali ke dasar dan diangkat lagi ke puncak, begitu seterusnya. Apakah ini juga berlaku bagi buruh Indonesia? Walaupun bisa dibilang kita berada dalam situasi masyarakat modern, bukan berarti mitos ini akan hilang begitu saja. Baca lebih lanjut

Tugas-Tugas Demokratik Kaum Buruh (Pengantar Diskusi)

Oleh Ganjar Krisdiyan*

Ketika menerima undangan dari TURC ini, melihat tema diskusinya: Transformasi Gerakan Buruh Menuju Gerakan Sosial dan Politik, mengingatkan saya kembali ketika memulai terlibat dalam gerakan, saya memulai semuanya sejak akhir tahun 1995 sebagai aktivis kampus, dan pada awal-awal tahun 1996 saya mulai melibatkan diri dalam rencana pemogokan umum/gabungan buruh di Tandes Surabaya bersama Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), pada waktu itu selain menuntut masalah-masalah normatif seperti cuti haid dan cuti hamil, pembayaran uang lembur, jamsostek dll PPBI juga menuntut Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar Rp. 7000,-/hari (pada saat itu upah buruhnya hanya Rp. 3500,-/hari, Pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan Pencabutan 5 Paket UU Politik. Seketika, pada satu hari setelah dimulainya pemogokan, kehebohan terjadi, hampir semua koran memberitakan, dengan tema yang hampir mirip, yaitu BURUH MENUNTUT DEMOKRASI, APA HUBUNGANNYA? Pemberitaan-pemberitaan pun dibuat sangat berat sebelah, dan yang paling banyak dimuat adalah pernyataan-pernyataan dari penguasa militer, baik daerah (Pangdam) maupun nasional (terutama dari Kasospol ABRI), yang inti pendapatnya kira-kira “BURUH KOK MENUNTUT DEMOKRASI, PASTI ADA YANG MENUNGGANGI”. Baca lebih lanjut

Mayday Tahun Ini

Oleh Zely Ariane*

“’Dan internasionale jayalah di dunia…’ Malam ini adalah malam renungan kita yang diimplementasikan lewat konfirmasi2 untuk kawan seperjuangan! Kepada seluruh kaum Marxis Indonesia, selamat merayakan hari buruh 1/5/2011. Semoga di hari yang fitri ini kita, lewat kampanye politik dan bagi-bagi selebaran selama ini dapat menghancurkan paham dan adat tua, mewujudkan rakyat yang sadar-sadar, memenangkan tuntutan-tuntutan rakyat tertindas di hari esok! Akhir kata Jayalah Sosialisme … (Nasir & Keluarga Besar UBK)”

Pesan singkat itu terasa heroik bak menyambut hari Idul Fitri bagi orang Islam. Kata-katanya pun menggebu laksana deruan beduk di malam takbiran. Pesannya tidak main-main: dengan aktivitas perjuangan yang sederhana (kampanye politik dan bagi-bagi selebaran) dapat menghancurkan paham-adat tua, sehingga rakyat sadar, dan tuntutan dimenangkan. Tujuannya pun mulia: untuk kejayaan Sosialisme. Baca lebih lanjut