Benang merah perjuangan demokrasi dan kesejahteraan

Koran Pembebasan Edisi I Juli-Agustus 2011

Oleh: Paulus Suryanta Ginting*

Soeharto sudah dijatuhkan hampir 13 tahun lalu. Di berbagai tempat bupati-bupati, gubernur-gubernur, lurah-lurah lama yang menjadi “kaki-tangan” kekuasaan Orde Baru banyak yang sudah digantikan, apakah itu lewat pemilu, ataupun digantikan “secara paksa” oleh aksi-aksi rakyat. Para Jendral yang dahulu terdepan memukuli aksi-aksi mahasiswa, saat ini, mayoritas diantaranya, tidak memiliki otoritas lagi atas institusi militer. Banyak aset-aset militer mulai dilucuti. Ruang lingkup kewenangan tentara semakin sempit, sedangkan polisi disisi lain semakin besar.

Atas semua fakta itu, apakah masih ada maknanya perjuangan demokrasi hari ini? Apakah kita harus sepenuh-penuhnya meninggalkan perjuangan demokrasi dan konsentrasi saja pada perjuangan anti neoliberalisme; perjuangan kesejahteraan? Atau bagaimana? Apa status demokrasi kita hari ini? Apa tingkat perjuangan kita hari ini? Perjuangan demokrasi, kah? Atau perjuangan kesejahteraan, kah? Ataukah perjuangan demokrasi dan kesejahteraan yang keduanya berkait berkelindan tak terpisahkan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting dan mendesak untuk dijawab saat ini. Bukan sekedar memuaskan keinginan intelektual semata, lebih jauh lagi, menjawab persoalan mendasar dari meletakkan arah perjuangan yang (sedapat mungkin) tepat atas penilaian situasi yang (sedapat mungkin) tepat.

Macet

Masyarakat Indonesia memang telah mengalami reformasi, tetapi tidak berarti bahwa perjuangan reformasi sudah usai, apalagi apabila reformasi dianggap sebagai tujuan utama perjuangan. Bukan, karena reformasi  merupakan persetujuan minimum bersama atas cara perjuangan dalam menggantikan kekuasaan Orde baru. Semaksimal apapun, reformasi hanya sekedar merubah susunan kekuasaan saja, tidak menghancurkan dan mengubah tatanan yang ada secara mendasar. Namun demikian, semakin maksimal perjuangan reformasi dan perjuangan demokrasi, akan semakin menguntungkan perjuangan untuk Sosialisme. Dalam pengertian umum tersebut, perjuangan reformasi di Indonesia sungguh belum mencapai penuntasannya.

Sekedar menyegarkan ingatan kita, platform perjuangan reformasi antara lain: anti Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN), turunkan Soeharo dan kroni-kroninya, adili Golkar, kembalikan tentara ke barak, dll. Dari platform tersebut ada yang sudah berhasil dicapai, dan banyak diantaranya belum tercapai hingga sekarang. Misalnya: pertama, ya, Soeharto bisa dijatuhkan oleh kekuatan aksi rakyat, keluarga cendana perlahan tersingkir dari tampuk kekuasan dan kehilangan dominasi politik dan modalnya, tetapi, masih banyak kroni-kroni Soeharto dan aparatus Orde Baru bercokol, berganti “jubah” dan selanjutnya mereproduksi kekuasaannya. Kedua, benar bahwa tidak sedikit koruptor yang ditangkap oleh kejaksaan dan KPK, tapi penanganan kasus korupsi masih “tebang pilih”, dan koruptor-koruptor kelas kakap (seperti: Soeharto, Century, dsb) belum juga diadili serta disita hartanya untuk kesejahteraan rakyat. Ketiga, memang benar, bahwa perlahan aset-aset bisnis tentara mulai dipangkas, tentara tidak lagi masuk di parlemen, terjadi pemisahan antara polisi dan tentara, kewenangan tentara mulai dikurangi, dst. Tapi kekuatan fundamental tentara dalam bingkai “Dwi Fungsi ABRI” masih belum tergoyahkan: struktur komando teritorial masih bertahan hingga saat ini, bahkan diperluas (contoh di Kalimantan dan Papua).

Tentara secara struktural masih memainkan pengaruh politiknya atas kebijakan birokrasi sipil, misalnya, dalam rapat-rapat Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) dan Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Tidak hanya itu, tidak sedikit struktur kepala daerah yang diisi oleh mantan petinggi militer, bahkan ada diantaranya yang mencalonkan diri saat masih menjadi perwira aktif. Gilanya, masih ada sampai pada hari ini suatu Daerah Operasi Militer (DOM) di Puncak Jaya, Tinggi Nambur, Papua Barat. Kasus-kasus penembakan terhadap aksi-aksi petani (seperti di Kebumen) juga paling banyak berhadapan langsung dengan aparatus tentara.

Tuntutan reformasi lainnya yang tidak pernah terselesaikan hingga saat ini adalah pengadilan terhadap para jenderal pelanggar HAM. Nama-nama jenderal pelanggar HAM, seperti Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, berhasil melenggang maju pada pemilu 2004 dan 2009 lalu , bahkan Soesilo Bambang Yudhoyono menang!

Apalagi saat ini kekuasaan modal dan pemerintah tengah memperbesar kesempatannya memperluas dominasi agar semakin kokoh kekuasaannya. Mereka memperbesar syarat bagi stabilisasi kekuasaan politik dan modal melalui berbagai regulasi yang menghambat kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan kemerdekaan berpikir. Itulah yang sedang kita hadapi bersama dengan munculnya RUU Intelijen, RUU Rahasia Negara, UU Terorisme, bahkan payung hukumnya RUU Keamanan Nasional, dan Rancangan KUHP. Memang dari produk hukum tersebut sasaran utamanya terkesan hanya kelompok islam reaksioner, tetapi bukan berarti gerakan demokratik dan gerakan kiri bisa bebas dari jeratan undang-undang reaksioner tersebut. Selain itu, yang telah lebih dulu ada seperti perda-perda berbau agama dan syariat, atau perda pelarangan demonstrasi dan pemogokan, seperti yang berlaku di Batam, juga sama-sama menghambat demokrasi.

Inilah fakta-fakta yang kita hadapi hari ini: demokrasi terhambat, mandeg, macet. Keberhasilan membuka “kran” demokrasi dengan jatuhnya Soeharto dan pemilu multi partai, sesungguhnya sekadar menghasilkan demokrasi liberal “prosedural” yang semakin lama malah mempersempit kesempatan rakyat itu sendiri dalam memanfaatkan demokrasi untuk memperbesar kekuatannya dan meningkatkan partisipasinya melalui organisasi.

Perlahan tapi pasti, rejim agen Imperialis yang sedang kehilangan popularitas politiknya dihadapan rakyat membutuhkan segala syarat bagi stabilisasi kekuasaan politik, membatasi pergantian kekuasaan dilingkaran mereka sendiri—yang juga sudah semakin tak populer dan kehilangan dominasinya itu. Salah satu caranya adalah dengan mempersempit kesempatan bagi rakyat untuk turut ambil bagian dalam dinamika politik melalui UU parpol dan RUU Pemilu.

Jadi apa makna perjuangan demokrasi hari ini?

Maknanya adalah melumpuhkan kekuatan anti demokrasi yang sedang merestorasi diri—bahkan sedang memperkuat dominasi posisinya—memperluas syarat-syarat bagi rakyat untuk memperbesar kekuataannya agar dapat memanfaatkan demokrasi seluas-luasnya untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.

Tanpa memenangkan perjuangan demokrasi, meluaskan dan mempertahankan capaian yang sudah ada, akan sulit bagi rakyat dan gerakan rakyat untuk dapat memenangkan perjuangan anti imperialisme.

Perjuangan Melawan Imperialisme


Imperialisme dan pemerintahan agennya, SBY-Boediono, melalui berbagai kebijakan pro pasar bebasnya, jelas menghancurkan kesempatan bagi ratusan juta kelas menengah ke bawah meningkat derajat kesejahteraannya. Penetrasi modal asing yang begitu deras, serta kesetiaan rejim dalam menjalankan kebijakan ekonomi, politik, pro modal asing, membuat konsentrasi gerakan rakyat adalah merespon isu-isu ekonomis (kebutuhan hidup) di level teritorial maupun sektoral. Lambat laun, karena begitu sibuk dengan intensnya merespon isu ekonomis ini, rakyat dan gerakan rakyat menjadi tidak sigap pada isu-isu demokrasi.

Kita memang sedang berjuang melawan kediktaktoran modal,  bukan lagi melawan kediktaktoran Orde Baru. Namun justru karena itulah perjuangan untuk demokrasi yang seluas-luasnya menjadi penting, karena tak akan mungkin ada kesejahteraan yang sejati tanpa menggulingkan kediktaktoran modal, dan tak akan mungkin bisa menggulingkan kediktaktoran modal apabila pada setiap momen-momen politik borjuasi mempersempit ruang demokrasi, rakyat dan gerakan rakyat membiarkannya saja tanpa perlawanan yang kuat dan berarti.

Inilah tahap perjuangan kita, perjuangan melawan imperialisme, melawan kediktaktoran modal asing, yang mana di dalamnya terkandung perjuangan demokrasi, perjuangan ekonomi, perjuangan politik sektoral maupun umum, hingga perjuangan kelas, dengan kata lain perjuangan untuk Sosialisme.

Dalam perjuangan anti imperialisme dan anti kapitalisme untuk Sosialisme, memenangkan dan memperluas ruang demokrasi akan memberikan kesempatan bagi rakyat (kaum buruh, tani dan kaum miskin kota) untuk memperbesar kekuatannya, sehingga bisa memenangkan tuntutan-tuntutan minimum (upah, jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan gratis, dsb), bahkan, mengambil alih kekuasaan politik sebagai syarat mendasar penggulingan borjuasi sebagai sebuah kelas.

Tapi bukan pula dengan hanya melihat persoalan demokrasi sebagai yang utama, karena demokrasi sedang terancam,  lalu hanya berkutat pada perjuangan demokrasi semata. Tidak, sekali lagi tidak cukup. Perjuangan demokrasi kita adalah perjuangan demokrasi yang berkarakter anti imperialis dan anti kapitalis. Perjuangan yang melawan setiap undang-undang, aparatus, dan institusi yang anti demokrasi; kebudayaan yang anti demokrasi, dan memperjuangkan undang-undang, aturan, sistem politik, kebudayaan yang memperluas kesempatan bagi rakyat memperbesar kekuatan partisipasinya melalui organisasi, partai politik, persatuan, mobilisasi, kebebasan politik dan kemerdekaan berpikir. Kesemua itu merupakan syarat untuk dapat mengepung pusat-pusat kekuasaan, menduduki tangsi-tangsi musuh, mengambil alih kekuasaan, merebut dan menjalankan pabrik-pabrik: membangun Sosialisme.

Oleh karenanya, jangan pernah berpikir sekalipun bahwa era perjuangan demokrasi sudah habis, dan saatnya konsentrasi saja pada era perjuangan anti neolib. Lalu bekerjasama dengan perwira-perwira militer yang dianggap anti neoliberalisme— karena anti SBY-Boediono. Agar dapat memperbesar kekuatan anti neolib. Padahal tak ada rekam jejaknya perwira-perwira militer (mantan ataupun aktif) tersebut berjuang melawan kebijakan neoliberalisme. Atau diam saja ketika Ahmadiyah, HKBP atau kelompok LGBTIQ di serang, lalu mencibir dan berkata, “akh itu kan hanya pengalihan isu saja”.

Kemenangan melawan PHK massal di satu pabrik, tidak sama dengan kemenangan bagi dibukanya ruang untuk kebebasan politik dan kemerdekaan berpikir. Kemenangan demokrasi semacam itu ribuan kali lebih menguntungkan dari sekedar memenangkan pesangon di satu pabrik atau kawasan. Karena, sekadar kemenangan melawan PHK atau pesangon layak tanpa kemenangan kemerdekaan berpikir adalah satu langkah maju dua langkah mundur.

Dari fakta-fakta di atas saja sudah disebutkan, bahwa aparatus kekerasan borjuasi dan imperialis masih bercokol dengan kuatnya, bahkan pondasi terbesarnya (struktur komando teritorial) tak pernah berhasil dilumpuhkan. Maka mudah saja bagi imperialis untuk memukul mundur perlawanan gerakan rakyat dan geraan kiri yang memperjuangkan isu-isu kesejahteraan (upah layak, pendidikan dan kesehatan gratis, BBM murah, Jaminan Sosial), bahkan bukan tak mungkin hingga kembali ke masa “crackdown” (pemberangusan), karena payung hukum, institusi dan kekuatan reaksioner masih kuat.

Lalu bagaimana menempatkan perjuangan demokrasi dan kesejahteraan seiring sejalan? Kita, gerakan kiri, harus terus menjelaskan kepada rakyat bahwa musuh kita adalah Kapitalisme-Imperialisme. Jurang antara miskin dan kaya semakin dalam dan lebar, kekerasan atas nama perbedaan ras, agama, suku, orientasi seksual, krisis ekonomi, politik, dan krisis kebudayaan, semua itu disebabkan oleh Kapitalisme-Imperialisme, sisa feudalisme, dan patriarkhi.

Kapitalisme tidak sekedar sistem yang mengatur hajat hidup orang secara ekonomi. Lebih jauh dari itu, Kapitalisme juga mengatur bahkan mengekang orang secara politik, bahkan kebudayaan lewat aparatus ideologis, politik, hukum bahkan kekerasan (militer dan milisi sipil reaksioner) sebagai elemen yang mempertahankan sistem ini bertahan, berjalan, dan berkelanjutan  Kapan pun dimana pun aparatus ini akan menjadi elemen kekerasan bagi siapapun yang hendak menggantikan sistem ini, merubahnya secara radikal. Dan memang untuk tujuan itulah aparatus-aparatus ini dibentuk.

 

Kait kelindan perjuangan

Dalam perjuangan menggulingkan kapitalisme ini, kita harus mempertahankan dan (bahkan) memperluas ruang demokrasi (dalam perspektif perjuangan untuk Sosialisme) adalah terlibat aktif berjuang dan memperluas perjuangan demokrasi, menyambungkan perjuangan demokrasi dengan kesejahteraan sebagai propaganda dan tuntutan agar dimengerti oleh massa, begitu pula sebaliknya. Dengan terlibat aktif  dalam perjuangan demokrasi maka rakyat akan semakin mengerti bahwa ada batas yang tidak bisa dilewati dari tuntutan demokrasi oleh kaum borjuis dan kaum reformis yang membatasi diri pada perubahan komposisi tatanan saja tanpa merubah secara radikal sistem dan tatanan yang ada. Disitulah makna berkait berkelindannya perjuangan demokrasi dengan perjuangan kesejahteraan atau perjuangan anti kapitalisme.

Yang harus kita tuntut untuk memperluas perjuangan demokrasi antara lain: mengembalikan militer ke barak, membubarkan Kodam, Korem, Koramil, Babinsa, kebebasan berserikat diterapkan sepenuhnya, kebebasan berdemonstrasi dan melakukan pemogokan,  kebebasan berideologi, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, kebebasan berorganisasi, berpartai, dan terlibat dalam pemilu yang demokratis, referendum, kemerdekaan atas pilihan keyakinan/kepercayaan dan orientasi seksual, peradilan yang jujur dan adil, pengadilan atas para pelanggar HAM.

Apabila perjuangan perluasan demokrasi berhasil, maka pemogokan pabrik, kawasan, pendudukan lahan, kebebasan berorasi di dalam pabrik dan kawasan akan memudahkan kaum buruh dan tani memperluas pengaruhnya di kalangan buruh dan tani yang belum sadar. Semakin besar kekuatan buruh dan tani yang sadar, akan semakin besar pula peluang untuk memenangkan setiap kasus-kasus mereka. Itulah keuntungan minimum perjuangan demokrasi atas  perjuangan kesejahteraan.

Tapi perlu diingat, bahwa itupun barulah kemenangan kecil demokrasi di bawah sistem kapitalisme, yang pada satu titik, bisa kembali dipukul mundur, bahkan, hingga sulit dibuka kembali, seperti yang pernah terjadi di negeri ini, sejak berkuasanya Orde Baru. Oleh karenanya, perjuangan demokrasi dan kesejahteraan tidak cukup hanya bertujuan memenangkan minimum demokrasi dan kesejahteraan, harus dimajukan lebih jauh lagi hingga perjuangan menggulingkan kekuasaan rejim agen imperialis, sistem kapitalisme, mendirikan tatanan masyarakat Sosialis.

Ketika berhasil meningkatkan level perjuangan, dari minimum demokratik dan kesejahteraan ke perjuangan politik kelas, melalui propaganda dan mobilisasi massa, maka semakin besar syarat menggulingkan kapitalisme dan mendirikan tatanan menuju transisi masyarakat sosialis dan bahkan masyarakat sosialis itu sendiri. Artinya demokrasi partisipatif  dari mayoritas kelas tertindas dalam menentukan, menjalankan, mengontrol kebijakan ekonomi, politik, hukum dan budaya bisa berjalan secara maksimal. Itulah mengapa, sosialisme ribuan kali lebih demokratis dibandingkan masyarakat kapitalis yang paling “demokratik” pada saat ini.

Menyatukan dan memuarakan fragmen

Saat ini ada berbagai konsolidasi persatuan yang berjalan. Apakah itu konsolidasi untuk isu sektoral, isu demokrasi, isu HAM, isu anti SBY, dsb. Tetapi, pada dasarnya, hanya melanjutkan sejarah kelemahan gerakan: oposisi yang berserak. Tidak lebih. Mayoritas diantaranya bergerak dari satu isu ke isu yang lain, bergerak dari satu momentum ke momentum yang lain, apakah itu yang digelontorkan oleh rejim atau momentum historis, tak ada bedanya seperti Komite Isu, atau komite aksi.

Tak mungkin bisa meningkatkan level perjuangan minimum demokrasi apabila konsolidasi-konsolidasi yang ada berserak dan terpecah. Baik karena perspektifnya hanya sekedar respon isu dan respon masalah, atau karena tidak mengerti, atau tidak punya arah untuk perjuangan jangka panjang, atau memang tidak punya gagasan (ideologi) perjuangan jangka panjang seperti apa yang hendak dicapai.

Oleh karenanya, harus ada platform yang jelas, yang bisa menyatukan semua fragmen-fragmen yang bergeliat. Bukan karena disatu-satukan atau dihubung-hubungkan,  tetapi karena memang ada keterhubungan satu dan lainnya secara ilmiah (sebab –akibat), yang, tentu saja, berangkat dari batas penerimanaan dan kesadaran mereka. Platform yang bisa menyatukan ini tidak lain adalah perjuangan anti imperialis untuk membangun bangsa yang demokratik, mandiri secara ekonomi, politik, dan berkebudayaan maju.

Platform perjuangan inilah yang memberikan arah atas konsolidasi perjuangan kebebasan berserikat melawan union busting, persatuan melawan RUU Intelijen dan RUU Kemanan Nasional, persatuan untuk kebebasan pers, persatuan  untuk jaminan sosial, persatuan melawan penggusuran, persatuan solidaritas atas keberagaman agama, persatuan atas kemerdekaan orientasi seksual, dsb. Platform inilah gagasan utamanya, yang akan memberikan arah atas ketiadaan muara perlawanan yang membabi buta. Platform inilah yang menghubungkan seluruh fragmen-fragmen isu yang sering dianggap tak ada hubungan satu dan lainnya.

Jika saja kita belajar dari kekurangan perjuangan demokrasi di masa reformasi, maka kita tidak akan sekadar bergerak dari satu isu ke isu yang lainnya, tanpa menohok dan menghubungkannya dengan akar masalah sebenarnya, atau paling tidak yang paling mendekati masalah sebenarnya. Itulah yang terjadi ketika gerakan mahasiswa dan rakyat menjatuhkan Soeharto sekadar karena Soeharto terlibat KKN, bukan karena Soeharto adalah kapitalis bersenjata. Dan jatuhnya Soeharto dianggap kejatuhan orde baru secara keseluruhan. Padahal Orde Baru adalah sebuat tatanan, dan Soeharto hanyalah bagian yang memimpin tatanan itu. Jatuhnya Soeharto tidak lantas merubah sistem politik dan kebudayaan yang dikembangkan Orde Baru selama 32 tahun.

Seperti halnya dalam kasus-kasus hari ini. Katakanlah gerakan rakyat berhasil menunda atau bahkan menggagalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Intelijen dan  Keamanan Nasional, tidak berarti rejim kehilangan akal untuk menutup ruang demokrasi dari celah-celah yang lain. Tak ada bedanya seperti saat gerakan memukul militer, Mei 1998, kemudian tentara coba untuk bangkit kembali dengan mengusulkan  RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) sebagai celah untuk mendapatkan legitimasi merebut tampuk kekuasaan.

Oleh karena itu, dalam setiap momentum isu yang ada baik demokratik ataupun kesejahteraan, kita harus memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan mendasar, yakni: imperialisme, dan jalan keluarnya: sosialisme. Dengan begitu rakyat akan meningkat kesadarannya dan dapat cepat tanggap atas isu atau regulasi yang digelontorkan oleh rejim, hingga meningkat level perjuangan politiknya.

Butuh Panggung

Tapi, platform tidak akan pernah menjadi platform bersama yang memberi arah apabila tidak ada upaya meluaskannnya, tidak di yakini, tidak dimengerti, dan tidak hegemonik.

Di situlah tugas kerja-kerja propaganda berjalan, yaitu menjelaskan kepada setiap fragmen-fragmen konsolidasi yang berjalan. Tidak memaksakan kapasitasnya, tetapi secara reguler menjelaskan melalui alat propaganda dan diskusi-diskusi reguler, serta latihan-latihan politik bersama.

Tapi tentu saja menjelaskan, berpropaganda dari satu konsolidasi ke konsolidasi yang lain, membutuhkan energi dan kader yang banyak dan besar. Butuh kesabaran dalam menuntun dan menjelaskan. Bisa cepat, bisa juga lama perubahan level kualitas politiknya. Bisa juga malah terjerembab dalam komite advokasi; komite isu, ekonomisme, dll. Oleh karenanya dibutuhkan panggung untuk bisa berbicara secara luas, apakah panggung itu berbentuk Koran, atau panggung itu berbentuk seminar-seminar, rapat-rapat akbar, dll.

Di panggung inilah berbagai gagasan secara tertulis dan lisan dipertemukan, dipertarungkan, ditunjukkan secara lugas kepada rakyat dan aktivis. Hendak kemana perjuangan masing-masing konsolidasi tersebut? Apakah akan bermuara pada komite isu saja, ataukah akan bermuara pada perjuangan yang lebih maju lagi: melawan imperialisme, mengganti kekuasaan, dan mendirikan kekuasaan rakyat?

Percepatan penerimaan gagasan, konsep, semuanya ditentukan dari apakah gerakan kiri sanggup menyatukan antara mobilisasi politik dengan pertarungan politik gagasan. Melalui panggung politik itulah saja, akan terbuka pikiran, gagasan, konsep, mau kemana arah dari masing-masing perjuangan. Dan dari panggung politik gagasan ini pula rakyat akan mengerti apa tugas sejarah perjuangan mereka, apakah sekedar menuntut upah, kebebasan berserikat ataukah mengganti kekuasaaan dan sistemnya serta merebut demokrasi dan kesejahteraan sejati!

 

*Aktivis Partai Pembebasan Rakyat

Tinggalkan komentar