Industrialisasi Nasional di bawah Kontrol Rakyat solusi Kenaikan BBM!

Oleh: Surya Anta*

Di televisi dan di jalan-jalan, Pemerintah mengampanyekan spanduk dan iklan “tipu muslihat”  bahwa pencabutan subsidi BBM diperuntukkan agar semakin besar dana yang diberikan untuk pembangunan infrastruktur (jalan, sekolah, jembatan, pelabuhan, bandara, dsb).

Sesungguhnya pembangunan infrastruktur yang dimaksud adalah pembangunan Infrastruktur yang kedepannya akan memudahkan bagi investor menanamkan modal di 6 koridor ekonomi dalam proyek besar Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sudah terbukti dalam proyek PNPM—dimana saat ini masuk dalam salah satu program Master Plan Percepatan Pengentasan Kemiskinan Indonesia (MP3EI), dana yang besar mengucur untuk pembangunan infrastruktur, terutama Jalan, dan yang paling besar mendapatkan keuntungan  adalah perusahaan tambang dan perkebunan, dan bukan rakyat.

Pembangunan Infrastruktur seolah-olah menjadi obat mujarab bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini berada di angka 6-6,5%, dan dengan angka tersebut menjadikan Indonesia “katanya” sebagai negara “middle income countries”. Tentu saja, karena tanpa pembangunan infrastruktur yang besar-besaran maka proyek besar memperdagangkan kekayaan alam dan sumber daya manusia murah lewat MP3EI tak akan bisa berjalan maksimal. Jadi inilah maksud sebenarnya, mengabdi pada kepentingan modal, bukan pada kepentingan rakyat.

Dan untuk mensukseskan rencana besar Investasi ini, pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp. 4050 triliun padahal negeri ini hanya memiliki APBN sebesar Rp. 1800 Triliun. Maka untuk memperbesar anggaran bagi proyek ini utang luar negeri akan menjadi salah satu solusi, selain dana-dana APBN yang dianggap tidak efektif yakni subsidi BBM, Listrik, dsb akan dihapuskan.

Sekali lagi, pemerintah mengandalkan rumus kebijakan ekonomi yang sama: investasi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan dengan demikian akan mengakibatkan pemerataan kesejahteraan (tricle down effect) bagi seluruh rakyat.

Image 

Ketimpangan

Rumus kebijakan ekonomi ini lah yang digunakan oleh Orde Baru, dan oleh pemerintahan paska Orde Baru di buat lebih “ganas” dengan meliberalisasi seluruh sektor (perdagangan, jasa, dan keuangan). Padahal pada kenyataannya meskipun negeri ini sudah menjalankan ekonomi pasar sejak masa Orde baru, dan ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) selama 15 tahun, impian pemerataan kesejahteraan tak pernah terwujud. Kita lihat dimana-mana orang kaya semakin kaya sedangkan orang miskin semakin miskin dan itu berarti ketimpangan terjadi dimana-mana. Mari kita lihat, bagaimana kekayaan dari 40 orang di Indonesia kurang lebih sebanding dengan 50% APBN negara atau setara dengan 77 Juta kekayaan penduduk Indonesia.  Dan, kesenjangan pembangunan antara Jawa dengan luar jawa sebesar 57,6% – 42,4%. Upah minimum provinsi Rp. 2.200.000, namun gaji pejabat BUMN ada yang sampai Rp. 100.000.000. Kepemilikan area tambang batubara oleh asing sebesar 42 Juta Hektar dan area Minyak dan Gas sebesar 95 Juta Hektar. Hal ini lah yang menjadikan baru pada tahun 2003 saja indeks land gini (indeks ketimpangan terhadap kepemilikan tanah) kita sebesar 0,72. Ketimpangan lainnya terjadi pada harapan hidup dan pendidikan, ketimpangan pada angka harapan hidup sebesar 16,8% dan ketimpangan pendidikan sebesar 20,4% (masa sekolah). Inilah sedikit gambaran dari ketimpangan (imballances) hasil dari secara serius di jalankannya kebijakan kapitalisme.

Ketimpangan ini akan terus berlanjut dan semakin besar seiring dengan pencabutan subsidi rakyat. Hari ini kita lihat Gini Ratio (ketimpangan pendapatan rakyat) sudah sebesar 0,41, dan itu berarti jumlah orang miskin dan hampir miskin melonjak. Angka  0,41 ini di tahun-tahun yang akan datang akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako, dan lainnya. Karena yang diberikan pemerintah bukan pendidikan, kesehatan, energi murah, transportasi murah, air minum, melainkan jalan, pelabuhan, bandara, kawasan pabrik bagi lancarnya modal asing masuk dan leluasa mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dan manusia yang ada.

Berbicara menolak kenaikan BBM tak bisa sekedar mengangkat tangan kiri dan berteriak “Tolak Kenaikan BBM” selantang-lantangnya. Kita harus mengerti kenaikan BBM merupakan produk dari rencana liberalisasi tapi lebih jauh lagi kita harus mengerti kebobrokan industri energi yang dibangun oleh Orde lama dan Orde baru. Dan berpikir lebih jauh lagi bukan sekedar menolak tapi bagaimana membangun Industri energi yang murah, ramah lingkungan dan menguntungkan bagi rakyat. Singkatnya kita harus mengetahui apa penyebabnya, apa akibatnya dan apa jalan keluarnya.

Apa Faktor Penyebabnya?                                                                                           

  1. Paska nasionalisasi lewat program banteng di tahun 1952, perusahaan minyak asing terutama yang di miliki oleh Belanda bukan dikuasai oleh rakyat melainkan oleh Kolonel Ibnu Sutowo, persis seperti anjurannya Amerika. Penguasaan Pertamina di tangan Ibnu Sutowo ini tidak memiliki konsep industrialisasi yang jelas, terarah dan berkelanjutan.
  2. Keuntungan produksi dari meningkatnya harga minyak dunia di tahun 1970an tidak diperuntukkan bagi berkembangnya industri hulu dan hilir minyak, gas dan listrik. Keuntungan yang di dapat justru diperuntukkan bagi proyek-proyek yang tidak berkaitan dengan pembangunan basis ekonomi ataupun di korupsi.
  3. Minimnya upaya pengembangan diversifikasi (baca: Penganekaragaman) energi, baik minyak maupun listrik, sehingga ketergantungan terhadap minyak begitu besar.
  4. Minimnya undang-undang dan teknologi untuk konservasi energi (Baca: Pengefektifan/penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan). Sehingga konsumsi energi tidak diatur berdasarkan kebutuhan dan efektifitas.
  5. Privatisasi industri Energi: Minyak, Gas maupun Listrik, yang memfragmentasikan (Unbundled) struktur industri energi agar memudahkan bagi investor untuk berinvestasi dan kompetitif pada kenyataannya justru tidak menambah—secara signifikan—pasokan energi yang meningkat kebutuhannya dan juga semakin tingginya harga dasar energi (Minyak, Gas, Listrik) tersebut karena dari struktur industri energi yang dipecah-pecah, korporasi internasional meningkatkan nilai komoditinya sehingga barang jadi (energi) menjadi semakin mahal.

 Apa akibat dari krisis energi ini?

  1. Kehancuran industri nasional. Energi memberi pengaruh yang besar terhadap komoditi lain, baik karena fungsinya dalam proses produksi maupun dalam distribusi komoditi. Sehingga naik turunnya nilai energi memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai komoditi (barang). Dengan rendahnya daya beli masyarakat serta kompetisi dagang—hasil dari liberalisasi perdagangan—membuat berbagai pabrik-pabrik dan pertanian bangkrut karena melimpahnya barang (komodi) tanpa dibarengi peningkatan daya beli, Overproduksi.
  2. Pengangguran meningkat. Perusahaan tidak mau mengambil resiko dengan situasi ini,apalagi mengurangi keuntungan, jalan yang dilakukan umumnya adalah pemecatan—yang banyak diantaranya tanpa atau dengan sedikit pesangon—atau menipu buruh untuk mendaftar kembali dan akhirnya berubah menjadi buruh kontrak, Labour Market Fleksibilty.
  3. Penurunan tingkat kesejahteraan, yang ditunjukkan dengan rendahnya pendapatan, gizi buruk, angka kematian ibu hamil yang tinggi, tingkat pendidikan yang rendah.
  4. Upah riil kaum buruh pada kenyataannya tidak naik, bahkan cenderung turun, karena biaya hidup semakin tinggi, barang-barang kebutuhan pokok semakin mahal.

Apakah Pemerintah sanggup mengatasi persoalan ini? Pemerintah tidak akan sanggup mengatasi persoalan ini, karena:

  1. Pemerintah SBY-Boediono, maupun pemerintahan sebelumnya (Soeharto, Habibie, Megawati, SBY-JK) adalah representasi dari kepentingan modal internasional. Dan selalu tunduk pada kebijakan ekonomi-politik korporasi internasional. Hal itu ditunjukkan dengan tidak satu pun dari pemerintahan tersebut yang secara tegas menolak kebijakan neoliberalisme.
  2. Selain tidak memiliki karakter, pemerintahan sekarang dan sebelumnya (paska orde lama) tidak memiliki cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, bangsa yang berkepribadian dan bangsa yang berdaulat. Seluruh konsep yang ditawarkan adalah konsep ekonomi pasar bebas.
  3. Seandainya memiliki keberanian untuk mandiri, pemerintahan ini tidak akan sanggup karena tidak mengembangkan kebudayaan dan kesadaran politik yang; mandiri, merdeka, modern, bersih, internasionalis, sebagai syarat untuk mengembangkan kedaulatan.
  4. Rakyat, sebagai modal utama sebuah bangsa, tidak dibangun kekuatannya sebagai tenaga produktif karena sudah bertahun-tahun lamanya partisipasi demokratik sebagai kekuatan rakyat dibungkam oleh rezim orde baru dan juga tak dibangun oleh pemerintahan paska orde baru hingga saat ini.

Lalu, Apa jalan keluarnya?

  1. Persatuan Perjuangan Rakyat untuk membangun Pemerintahan Rakyat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratik, merdeka, modern, adil/setara, bersih dan internasionalis.
  2. Membangun Industrialisasi dibawah kontrol rakyat.
  3. Menasionalisasi perusahaan pertambangan, minyak dan gas asing dibawah kontrol rakyat.
  4. Menghapuskan utang luar negeri.
  5. Menarik surat utang negara.
  6. Meneliti dan mengembangkan potensi-potensi teknologi konservasi dan diversifikasi.
  7. Mengembangkan bahan bakar yang terbarukan (renewable) untuk produksi nasional.
  8. Melakukan diversifikasi industri energi (minyak, gas dan listrik) dengan mengoptimalkan potensi terbesar yang ada.
  9. Membuat aturan/regulasi konservasi energi/penghematan energi, beserta lembaga pengontrolnya.
  10. Mengembangkan teknologi konservasi energi.
  11. Meningkatkan Subsidi Minyak, Gas, dan Listrik untuk rumah tangga miskin-menengah, fasilitas publik dan industri. Dan meningkatkan pajak dan tarif untuk rumah tangga kaya.

*Juru Bicara Partai Pembebasan Rakyat

** Poster oleh Barra Pravda

1 thoughts on “Industrialisasi Nasional di bawah Kontrol Rakyat solusi Kenaikan BBM!

  1. Josua Galung

    mngkin bs disisipkan untuk tambahan di bagian solusi
    saya pernah menganalisa tentang monopoli negara asing yg menggarap sumber daya alam indonesia, seperti freeport, caltex, inalum dan lain2.
    pertanyaan nya…
    mengapa pemerintah tetap memperpanjang kontrak mereka padahal jelas2 mereka meraup keuntungan yang sangat luar biasa besarnya. namun karena keterbatasan akses, saya tidak tahu berapa besaran margin keuntungan yg didapat pengelola asing dengan keuntungan yang didapat oleh negara qt.
    secara logika nya, tidak mngkin qt mendapat bagian yg lebih besar dari mereka.
    qt lihat saja seperti freeport.
    apa sumbangsih mereka kepada pembangunan di papua????
    pada kenyataan nya, masih banyak rakyat papua yg tidak tersentuh pendidikan, infrastruktur dan kesehatan yang memadai.
    sebagaimana qt lihat di media massa.
    pertanyaan utama nya adalah: mengapa pemerintah membiarkan mereka tetap mengeruk SDM yang sangat berharga dari negara qt?????
    jawaban yang awam saya dengar adalah bangsa indonesia tidak memiliki SDA yang berkompeten di bidang nya,
    nah,
    kalau indonesia mau mendapatkan hasil kekayaan negara sendiri, kenapa pemerintah tidak menyiapkan SDA yang bisa di beasiswakan untuk sekolah di luar negeri, contohnya sekolah engineer untuk dapat memenuhi semua proyek2 pertambangan yang selama ne telah menjarah harta bangsa indonesia.
    coba qt lihat anak2 bangsa yang banyak menjuarai olimpiade sains internasional dan olimpiade lain yang bertaraf internasional….
    mereka punya potensi, kenapa tidak diberdayakan????
    mw sampe kapan indonesia ne hdp dalam kebodohan????
    apatis, tidak mw mencari solusi untuk membangun bangsa nya dari masa keterpurukan???
    sejak masa orde lama, orde baru sampai orde reformasi, tidak ada pemeerintahan yang sadar akan hal ini….
    mohon ditindak lanjuti statement saya ne…
    terimakasih.
    salam juang!!!!!

    Balas

Tinggalkan komentar